PERAN KESENIAN LIONG DAN BARONGSAI SEBAGAI SARANA ASSIMILASI ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS JAWA
(Studi kasus perkumpulan Liong dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo)
Fajarul Falah* danSuharjianto**
*Mahasiswa
Fakultas Agama Islam (Ushuluddin) UMS
**Dosen Fakultas Agama
Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
E-mail:mas_xant@yahoo.co.id
Abstrak
Salah satu
dampak dari pluralisme kebudayaan adalah pembauran kebudayaan (assimilasi), hal
ini bisa terjadi karena adanya rasa saling
memahami terhadap perbedaan
antara satu dengan yang lain. Dan di antara sarana pembauran itu adalah melalui
kesenian. Salah satu kesenian dimaksud adalah Liong dan Barongsai. Meski
kesenian ini berasal dari Cina, namun ternyata dalam perkumpulan kesenian Liong
dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo, pemainnya tidak hanya berasal dari etnis
Cina saja, tetapi terdapat juga etnis pribumi. Kesenian ini telah memiliki
fungsi assimilasi untuk proses pembauran etnis Cina dan Jawa.
Kata kunci: Liong dan
Barongsai, assimilasi, etnis Cina, pribumi.
Pendahuluan
Pluralitas atau keberagaman adalah suatu keniscayaan; ia pasti didapati pada masyarakat manapun. Bahkan ketika teknologi transportasi dan komunikasi telah maju dengan pesat, maka kemajemukan merupakan inevitable destiny di berbagai komunitas. Namun demikian, ada catatan penting yang diungkapkan oleh Martin Luther King Jr., bahwa meskipun secara fisik kita tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, tetapi secara sosial-spiritual kita belum memahami makna sesunguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur, yang antara lain mencakup perbedaan agama dan etnisitas (Khisbiyah, 2004: v).
Pluralitas atau keberagaman adalah suatu keniscayaan; ia pasti didapati pada masyarakat manapun. Bahkan ketika teknologi transportasi dan komunikasi telah maju dengan pesat, maka kemajemukan merupakan inevitable destiny di berbagai komunitas. Namun demikian, ada catatan penting yang diungkapkan oleh Martin Luther King Jr., bahwa meskipun secara fisik kita tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, tetapi secara sosial-spiritual kita belum memahami makna sesunguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur, yang antara lain mencakup perbedaan agama dan etnisitas (Khisbiyah, 2004: v).
Bangsa Indonesia
merupakan bangsa multi etnis yang memiliki berbagai macam agama, suku bangsa
dan keturunan, baik dari keturunan Cina, India, Arab dan lain-lain. Dari
berbagai etnis yang ada, etnis Cina merupakan salah satu etnis terbesar di
Indonesia. Disamping sebagai etnis terbesar, etnis Cina memiliki mobilitas yang
tinggi. Tingginya mobilitas etnis inilah yang menyebabkan terjadinya interaksi
antar etnis ini dengan etnis-etnis yang ada, khususnya dengan etnis pribumi.
Hal ini terjadi merata hampir di seluruh wilayah Nusantara.
Interaksi antar etnis ini membawa pada suatu
proses pembauran yang salah satu alatnya adalah agama. Diperkirakan agama Islam
merupakan salah satu alat propaganda pembauran itu. Dengan menjadi Muslim,
etnis Cina dapat mendekatkan diri mereka dengan warga pribumi untuk menghapus
stigma komunis dan untuk memperoleh kekuasaan. Sebagian yang lain menjadi Muslim
karena perkawinan dengan pribumi (Trisnanto, 2005).
Pembauran
terjadi di berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah pembauran kebudayaan.
Pembauran kebudayaan ini antara lain melalui media kesenian. Salah satu
kesenian yang populer dikalangan etnis Cina di Indoensia adalah Liong dan Barongsai,
sehingga tidak sulit untuk menemukan perkumpulan kesenian Liong dan Barongsai,
khususnya di Surakarta.
Dalam kasus
pertunjukan Liong dan Barongsai, munculnya perkumpulan Liong dan Barongsai dapat
dimanfaatkan sebagai sarana interaksi antara etnis Tionghoa dengan warga
pribumi. Hal ini dapat dilihat adanya warga pribumi yang masuk dalam kelompok
dan ikut serta dalam memainkan kesenian Liong dan Barongsai, apalagi sejak masa
reformasi, kesenian Liong dan Barongsai mulai dikenal ke seluruh penjuru negeri.
Di Medan, contohnya, tak jarang warga pribumi banyak merayakan setiap acara dengan
menggunakan Barongsai. Jumlah personil Barongsai pun terus meningkat dari tahun
ke tahun (www.kissfm-medan.com). Contoh lain adalah
Eko Yulianto merupakan salah satu pemain Barongsai yang berdarah Jawa
mengungkapkan bahwa kesenian Barongsai terbuka bagi siapa saja yang tertarik
untuk dapat terlibat di dalamnya. Sehingga perbedaan rupanya tak menjadi
penghalang bagi siapapun untuk mengembangkan salah satu kekayaan budaya ini (www.trulyjogja.com). Sementara itu, di Surakarta terdapat perkumpulan
Liong dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo.
Kenyataan inilah yang menarik perhatian peneliti
untuk mengetahui lebih jauh peran kebudayaan Liong dan Barongsai sebagai alat
interaksi antar etnis, khususnya etnis Tionghoa dan warga pribumi (Jawa).
Permasalahan
Memperhatikan latar belakang di atas, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peran kesenian Liong
dan Barongsai sebagai sarana pembauran etnis Tionghoa dan warga pribumi pada
Perkumpulan Liong dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo.
Tujuan dan Kontribusi
Penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
peran kesenian Liong dan Barongsai sebagai sarana pembauran antar etnis
khususnya etnis Tionghoa dan pribumi (Jawa) pada perkumpulan Liong dan
Barongsai Tripusaka MAKIN Solo, sehingga ke depan, kesenian Liong dan Barongsai
dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan pembangunan yang
lebih baik di bidang budaya di Kota Solo khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Adapun kontribusi yang dapat diberikan dalam
penelitian ini adalah: Secara teoritis, penelitian ini dapat memperkaya
khazanah keilmuan pada umumnya dan bagi civitas akademika Universitas
Muhammadiyah Surakarta pada khususnya, sehingga proses pengkajian secara
mendalam akan terus berlangsung dan memperoleh hasil yang maksimal. Sedangkan
secara praktis, penelitian ini memberi kontribusi untuk mengungkapkan sebuah
usaha menumbuhkan pemahaman dan pengertian yang lebih mendalam terhadap budaya
Tionghoa, khususnya dalam hal kesenian Liong dan Barongsai.
Landasan Teori
1. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan peneliti, belum pernah ada yang
melakukan penelitian tentang peran kesenian Liong dan Barongsai sebagai sarana
pembauran, terlebih lagi yang melibatkan Perkumpulan Liong dan Barongsai
Tripusaka MAKIN Solo. Akan tetapi, penelitian terhadap etnis Cina di Surakarta
pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya yaitu:
Mutiari (1996) yang meneliti tentang Keragaman
Spasial Perkembangan Pecinan di Surakarta. Dalam penelitian ini ia
menjelaskan bahwa spasial perkampungan pecinan di Surakarta pada mulanya menggunakan
konsep tradisional Cina untuk penentuan zone, tapi kemudian berkembang menjadi
berorientasi ekonomi.
Markhamah
(2000) dengan judul penelitiannya adalah Etnik Cina: Kajian Linguitis
Kultural. Penelitian ini menerangkan bahwa bahasa Jawa yang digunakan oleh
keturunan Cina di Kota Madya Surakarta memiliki ciri khas.
Waston (2002)
dalam penelitiannya yang berjudul Konversi Agama ke Islam pada Kalangan
Keturunan Tionghoa di Surakarta, menjelaskan bahwa konversi agama
pada kalangan keturunan Tionghoa merupakan hal yang tidak mudah karena
lingkungan sosial mereka yang masih kental dalam mewarisi citra Islam yang
negatif dari zaman penjajahan Belanda dahulu. Oleh karena itu beliau
menyarankan kepada umat Islam untuk menghindari kekerasan dan penampilan yang
kurang simpatik demi menjaga nama baik Islam sendiri.
Nurhadiantomo
(2003) dalam Hukum Reintegrasi Sosial: Telaah Tentang Kerusuhan Massal yang
Menimpa Kolektivitas Tionghoa, menajamnya Konfigurasi Pemilahan Sosial “Pri-Nonpri”
dan Hukum Keadilan Sosial. Dalam penelitiannya ini ia menjelaskan
bahwa terjadinya konflik terbuka antara kolektivitas pribumi dan kolektivitas
Tionghoa tentunya didahului oleh konflik-konflik laten. Dalam hal ini faktor
kondisi disulut oleh faktor pemicu.
Adiyanto
(2005) dalam penelitian skripsinya di Fakultas Psikologi UMS yang berjudul Hubungan
antar Prasangka Etnis dengan Sikap Terhadap Pernikahan Campuran Pada Etnis
Jawa-Tionghoa. Ia menjelaskan bahwa ada hubungan negatif yang cukup signifikan
antara prasangka etnis dengan sikap terhadap pernikahan campuran pada etnis
Jawa-Tionghoa.
Falah dkk
(2007) dalam laporan peneltian karya tulis mahasiswa yang berjudul Pandangan
Muslim Tionghoa Terhadap Perayaan Imlek. Penelitian ini mengungkap bahwa
muslim Tionghoa di Surakarta memandang bahwa perayaan Imlek adalah suatu budaya
bangsa Tionghoa yang patut dilestarikan dan terkait sama sekali dengan ritual
atau ajaran agama tertentu.
Kerangka Teori
a. Kesenian
Kesenian
berasal dari kata seni dengan imbuhan ke – an, yang berarti perihal seni,
sesuatu yang berhubungan dengan seni. “Seni” sendiri pada mulanya adalah proses dari manusia, oleh karena itu
merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari
ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga
sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan
parameter yang menuntunnya atau kerjanya., seni adalah proses dan produk dari
memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu
set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi
lewat medium itu, untuk menyampaikan gagasan, sensasi, perasaan atau
kepercayaan (www.wikipedia.org).
Seni merupakan segi batin masyarakat, yang juga
berfungsi sebagai jembatan penghubung antar kebudayaan yang berlainan coraknya.
Disini seni berperan sebagai jalan untuk memahami kebudayaan suatu masyarakat
(Maran, 2000: 103-104). Seni merupakan suatu wujud yang dapat ditangkap indera,
namun apa yang disebut seni itu berada di luar benda seni. Sebab seni itu
berupa nilai, yang sangat subyektif yaitu berupa tanggapan individu terhadap
sesuatu berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Jadi, apa yang disebut seni baru
“ada” seni jika terjadi dialog saling memberi dan menerima antara subyek seni
dan obyek seni (Sumardjo, 2000: 45).
Liong dan Barongsai merupakan seni pertunjukan (performance
art), yaitu karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat
dan waktu tertentu. Seni performance biasanya melibatkan empat unsur:
waktu, ruang, tubuh para seniman dan hubungan dengan penonton. (www.wikipedia.org).
Dalam konteks Liong dan Barongsai, simbol-simbol
yang ada pada keduanya, semacam: dahi lebar melambangkan kecerdasan dan
kearifan, tanduknya yang seperti tanduk rusa melambangkan Negara dan panjang
usia, kupingnya yang menyerupai telinga sapi melambangkan ketegapan, matanya
yang mirip mata harimau menunjukkan keagungan, cakarnya yang bagai cakar
rajawali melambangkan keberanian, dan figur Liong itu mewakili watak-watak baik
manusia dan mencerminkan nilai-nilai yang dikandung oleh pandangan peradaban
Tionghoa terhadap dunia dan kehidupan manusia (www.indonesia.cri.cn).
b. Liong
Liong Liong atau disebut juga Tari Naga, popular di Indonesia
dengan sebutan Liong, adalah suatu pertunjukan dan tarian tradisional dalam kebudayaan
masyarakat Tionghoa. Seperti juga Tari Singa atau Barongsai, tarian ini sering
tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu dan merupakan salah satu puncak
acara dari perayaan imlek di pecinan-pecinan di seluruh dunia. Dalam
tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan
belasan tongkat. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan
mengibas-ngibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari
gerakan tarian yang diarahkan oleh seorang penari. Gerakan-gerakan ini secara
tradisional melambangkan peranan historis dari naga yang menunjukkan kekuatan
yang luar biasa dan martabat yang tinggi (www.wikipedia.org).
Dalam
mitologi Cina, Naga dipercaya bisa membawa keberuntungan untuk masyarakat
karena kekuatan, martabat, kesuburan, kebijaksanaan dan keberuntungan yang
dimilikinya. Para kaisar di Tiongkok kuno menganggap diri mereka sendiri
sebagai naga. Oleh karenanya naga dijadikan lambing kekuasaan kekaisaran. Ia
melambangkan kekuatan magis, kebaikan, kesuburan, kewaspadaan dan harga diri.
Tarian ini telah tersebar di seluruh Tiongkok dan seluruh dunia. Karya ini
menjadi sebuah pertunjukan seni khusus Tionghoa, melambangkan kedatangan
keberuntungan dan kemakmuran dalam tahun yang akan datang bagi semua manusia di
bumi (www.balipost.co.id).
Untuk
menampilkan pertunjukan Liong, perlu tata krama tersendiri. Liong muncul saat
perayaan Imlek dan Cap Go Meh (malam ke-15 setelah Imlek). Biasanya
didahului dengan upacara penyucian, dilanjutkan dengan upacara cuci mata di
kelenteng. Sebelum pelaksanaan digelar, beberapa orang sudah melakukan latihan
fisik untuk mengangkat liong yang panjangnya bisa mencapai ratusan meter (Adi :
2000).
c. Barongsai
Barongsai
adalah tarian tradisional khas bangsa Cina dengan menggunakan sarung yang
menyerupai singa. Saat ini, pertunjukan tarian Barongsai bisa kita saksikan
dalam berbagai kesempatan dan acara. Pada masa orde baru pernah mendapat
perlakuan diskriminasi, dan mulai diperbolehkan tampil di depan publik sejak
pemerintahan Gus Dur (www.trulyjogja.com).
Barongsai
atau tarian Singa terdiri dari dua jenis utama, yakni Singa Utara yang memiliki
suara ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara lebih natural dan mirip
singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta memiliki jumlah kaki
yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan
tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’. Menurut kepercayaan
Tionghoa, dalam atraksi Barongsai dapat membawa berkah yang berlimpah
(Wardhani: 2007).
Kesenian
Barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi
besar dari Cina Selatan. Dalam perkembangannya, barongsai di Indonesia
mengalami masa maraknya ketika jaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe
Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia
hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan Barongsai
kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya G 30 S/PKI. Karena situasi
politik di masa itu, maka segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia
dibungkam. Perubahan terjadi setelah tahun 1998 yang membangkitkan kembali
perkumpulan barongsai, dan bahkan sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa, tapi
juga kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta (www.wikipedia.org).
d. Assimilasi
Interaksi sosial yang terjadi melibatkan proses-proses
sosial yang beraneka ragam, proses saling mempengaruhi secara dinamis dalam
kontak antara pribadi dan grup menghasilkan perubahan sikap-sikap dan tingkah
laku dari partisipan. Interaksi yang berulang-ulang menjadi pola yang sering dan
disebut proses sosial (Huki, 1982: 159-160).
Sedangkan
assimilasi atau pembauran adalah proses sosial yang timbul bila ada: (1)
Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, (2)
Saling bergaul secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga (3) Kebudayaan
golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga
unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran. Biasanya golongan yang tersangkut dalam proses assimilasi adalah
suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Golongan minoritas
mengubah dan menyesuaikan sifat khas kebudayaannya dengan kebudayaan dari
mayoritas sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk
ke dalam kebudayaan mayoritas (Koentjaraningrat, 1986: 255).
Koentjaraningrat
(1986: 256) menambahkan bahwa proses assimilasi atau pembauran bisa terjadi
jika ada sikap toleransi dan simpati antar kelompok budaya tersebut.
e. Etnis
Golongan
suku bangsa dikenal dengan golongan etnis dan bangsa yang terdiri dari berbagai
golongan etnis disebut sebagai bangsa multi etnis. Suku bangsa adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ‘kesatuan
kebudayaan’, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tetapi tidak
selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Sehingga ‘kesatuan kebudayaan’
tidak ditentukan oleh seorang ahli melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.
Koentjaraningrat
menambahkan bahwa tiap kebudayaan yang hidup di masyarakat yang dapat berwujud
sebagai suatu komunitas desa, kota, atau kelompok kekerabatan bisa menampilkan
suatu corak khas yang terlihat oleh orang luar. Corak tersebut muncul karena
kebudayaan tersebut menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur
kebudayaan fisik dengan bentuk khusus, atau karena ada pranata yang membentuk
pola sosial khusus dsb (Koentjaraningrat, 1986: 264).
Etnis
Tionghoa dikenal sebagai suku bangsa yang bermobilitas tinggi (Markhamah, 2000:
1), bahkan mereka dikenal dalam sejarah sebagai bangsa yang sangat kuat
memegang tradisi leluhur dan cenderung bersifat eksklusif (Waston, 2002: 272).
Metodologi Penelitian
Objek penelitian
yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah Anggota Perkumpulan Liong dan
Barongsai Tripusaka MAKIN Solo. Dengan mengambil sumber data dari hasil
wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti terhadap para subjek, dengan
waktu penelitian 9 April – 3 Mei 2007. Metode pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan metode wawancara (interview) yang
berbentuk tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, hasil pemikiran, dan
pengetahuan subjek tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian
ini. Metode observasi non-partisipasi juga dilakukan untuk mengamati, dan mencatat
secara sistemik dan terencana terhadap gejala-gejala yang diselediki tanpa
diketahui oleh subjek (Narbuko, 1991).
Analisis datanya
menggunakan model analisis deskriptif yaitu berupaya untuk memaparkan peran Perkumpulan
Liong dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo terhadap penyaluran minat bakat seni
dan sarana assimilasi antar anggota perkumpulan atau masyarakat etnis lain di
luar kenggotaan perkumpulan tersebut secara sistematis dan sejelas mungkin.
Kemudian menganalisisnya secara induktif dengan mengorganisasikan fakta-fakta
atau hasil pengamatan yang terpisah menjadi sebuah rangkaian atau hubungan
suatu generalisasi (Azwar, 2000).
Pembahasan
Pertunjukan Liong
dan Barongsai semakin marak setelah diperbolehkan tampil kembali pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid hingga sekarang. Beberapa kota di
Indonesia, bermunculan perkumpulan kesenian barongsai seperti jamur di musim
penghujan dan anggotanya tidak hanya sebatas warga etnik Tionghoa saja. Di
Solo, tepatnya di perkumpulan Liong dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo,
sebagian dari anggotanya berasal dari etnik Jawa, sebagian yang lain berasal
dari etnik Tionghoa. Mereka hanya bermaksud untuk menyalurkan bakat dan minat
seni yang dimiliki, untuk itu mereka tidak pernah terbentur pada kenyataan
bahwa “saya seorang Jawa” dan “saya seorang Tionghoa”.
Kesenian Liong
dan Barongsai adalah kesenian terbuka, ia tidak berlaku terbatas untuk satu
kalangan saja, namun etnis apa pun yang melatar belakangi pemain Liong dan
Barongsai bukanlah sesuatu yang dipermasalahkan.
Dalam pandangan
subjek, pembauran antara etnis Tionghoa dan dan etnis Jawa merupakan hal yang
perlu dan positif. Subjek juga menerangkan tentang perihal keadaan pergaulannya
dengan teman dari etnis lain sebelum masuk perkumpulan Liong dan Barongsai.
Setelah masuk
dalam perkumpulan Liong dan Barongsai ini, pergaulan subjek mengalami
peningkatan. Peningkatan ini bukan hanya terbatas pada kalangan teman berlatih
dan bermain Liong dan Barongsai, tapi juga dari luar perkumpulan.
Dalam tataran
pandangan maupun perasaan, terdapat variasi perubahan pada subjek. Ada yang
mengalami perubahan pandangan dan perasaan yang lebih baik terhadap diri
sendiri maupun etnis lain, ada pula yang relative stagnan.
Proses saling
mengenal dan memahami satu terhadap yang lain hingga akhirnya membawa pada pembauran,
juga terwujud dalam permainan Barongsai yaitu banyak pasangannya bermain
Barongsai yang berasal dari etnis lain. Alasan pemilihan pasangan ini adalah atas dasar kecocokan satu sama lain.
Adapun masuknya subjek dalam perkumpulan ini
adalah dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa berlatih dan bermain Barongsai dan
Liong merupakan sarana untuk menyalurkan minat dan bakat seni yang ada pada
diri mereka masing-masing. Disamping itu subjek juga mendapatkan manfaat lain
dari berlatih dan bermain Barongsai dan Liong, yaitu untuk mengisi waktu luang
daripada nganggur atau kongkow-kongkow nggak jelas, dan untuk berolahraga.
Banyak alasan dan keadaan yang melatarbelakangi
subjek untuk masuk dan bergabung dalam perkumpulan Liong dan Barongsai ini. Diantaranya
yaitu; karena menyukai kesenian Barongsai dan gerakannya, ingin melestarikan
kesenian leluhur, karena diajak teman dsb.
Dari pemaparan tersebut di atas diketahui bahwa
kesadaran akan arti penting dan positifnya suatu pembauran, diwujudkan dalam
proses nyata untuk saling mengenal dan memahami. Para anggota Perkumpulan Liong
dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo mencoba bergaul dan berinteraksi langsung
dengan anggota yang berasal dari etnis lain. Interaksi ini membawa pada keadaan
“saling cocok” atau “saling mengerti”, dan itu berdampak luas pada interaksi
sosial yang dijalani oleh para anggota terhadap orang lain (baik dari
perkumpulan maupun di luar perkumpulan). Proses-proses sosial yang terjalin
dalam perkumpulan ini melibatkan golongan-golongan manusia yang berbeda
kebudayaan mereka saling bergaul langsung secara intensif dalam waktu yang
lama, dan tertanamnya nilai-nilai toleransi dan simpati terhadap kebudayaan
lain.
Dalam proses pembauran, kesenian Liong dan
Barongsai memberikan kesempatan dan ruang bagi para anggotanya yang berbeda
etnis untuk saling mengenal dan memahami satu terhadap yang lain, dengan
begitu, secara sosial dan spiritual mereka mampu untuk memahami makna
sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur,
diantaranya adalah etnisitas.
Penutup
Kesimpulan mengenai peran kesenian Liong dan
Barongsai sebagai sarana assimilasi antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa yaitu:
1. Pada Perkumpulan
Liong dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo, kesenian Liong dan Barongsai menjadi
sarana assimilasi antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa karena ia memberikan
kesempatan bagi para anggotanya yang berbeda etnis untuk saling mengenal dan
memahami satu dengan yang lain, sehingga dapat tercipta rasa toleransi dan simpati.
2. Pada diri anggota
Perkumpulan Liong dan Barongsai Tripusaka MAKIN Solo, terdapat perubahan
kualitas interaksi sosial dan pandangan yang bervariasi setelah mereka masuk
dalam perkumpulan tersebut, yaitu ada yang meningkat dengan peningkatan yang
cukup signifikan, dan ada juga yang relative stagnan.
3. Kesenian Liong dan
Barongsai dapat dijadikan sebagai sarana pembauran antara etnis Tionghoa dan
etnis Jawa.
Adapun saran-sarannya adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintah kota Solo selayaknya
memberikan perhatian yang lebih baik dalam pengembangan kesenian Liong dan
Barongsai dan kesenian-kesenian lainnya. Karena kesenian, khususnya kesenian
Liong dan Barongsai dapat dijadikan sebagai sarana pembauran agar tercipta integritas
demi pembangunan Solo dan Indonesia yang lebih baik.
2.
Perkumpulan Liong dan Barongsai
perlu untuk menambah gerakan-gerakan lain, seperti gerakan mengenalkan budaya
etnis lain, khususnya budaya etnis Tionghoa, sejak usia muda, dengan itu norma
dan nilai-nilai toleransi dan simpati terhadap budaya etnis lain dapat lebih
teresap dan terhayati, sehingga tercipta integritas dan pembauran yang lebih
sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Adi.
2000. Kesenian Cina yang Kian Mengakar. www.suarakarya.com.
Adiyanto, Chairul. 2005. Skripsi; Hubungan Antara
Prasangka Etnis dengan Sikap Terhadap Pernikahan Campuran pada Etnis
Jawa-Tionghoa. Surakarta: Fakultas Psikologi UMS.
Azwar,
Saifuddin. 2000. Metode Penelitian. Yogyakarta: Putra Pelajar.
Falah,
Fajarul. et.al. 2007. Pandangan Muslim Tionghoa Terhadap Perayaan Imlek. Surakarta:
Fakultas Ushuluddin UMS.
Huki,
Wila. 1982. Pengantar Sosiologi. Surabaya: Penerbit Nasional.
Khisbiyah,
Yayah. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni untuk Pluralisme: Merayakan
Keanekaragaman Budaya Nusantara, dalam Pendidikan Apresiasi Seni: Wacana dan
Praktik untuk Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta: Penerbit PSBPS.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia dan
Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Markhamah.
2000. Etnik Cina: Kajian Lingutis dan Kultural. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Mutiari,
Dhani. 1996. Keragaman Spasial Perkembangan Pecinan di Surakarta.
Narbuko,
C & Achmadi A. 1991. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurhadiantomo.
2003. Hukum Reintegrasi Sosial: Telaah Tentang Kerusuhan Massal yang Menimpa
Kolektivitas Tionghoa, Menajamnya Konfigurasi Pemilahan Sosial “Pri-Nonpri” dan
Hukum Keadilan Sosial.
Sumardjoko,
Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
Trisnanto,
A. M. Adhi. 2005. Refleksi Menyambut Musywil PITI Jawa Tengah: Quo Vadis
Tionghoa Muslim?. Suara Merdeka.
Wardhani,
Kurnia Adhita. 2007. Barongsai: Lain Dulu, Lain Sekarang. www.komunikasi.uns.ac.id.
Waston.
2002. Konversi Agama ke Islam pada Kalangan Keturunan Tionghoa di Surakarta dalam
“Profetika”. Surakarta: Program Magister Studi Islam UMS.
www.balipost.co.id. 2007. Barongsai Tolak
Bala, Liong Beri Kemakmuran.
www.indonesian.cri.cn. 2004. Asal Usul
Pertunjukan Atraksi Barongsai.
www.kissfm-medan.com. 2007. Menyemarakkan
Imlek dengan Barongsai.
www.trulyjogja.com.
2006. Seni Barongsai Tak Permasalahkan Perbedaan.
www.wikipedia.org.
Barongsai.
www.wikipedia.org.
Seni
www.wikipedia.org.
Tari Naga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar