ILMU PERBANDINGAN AGAMA
(Isi, Perkembangan, dan Manfaatnya bagi seorang Muslim)
Oleh: M. Darojat Ariyanto
Fakultas Agama
Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAK
Akhir-akhir ini banyak para cendekia yang kurang memahami Ilmu
Perbandingan Agama, sehingga mereka menghakimi bahwa IPA merupakan ilmu yang
sesat, dan mendangkalkan aqidah. Melihat fenomena tersebut penulis merasakan
keresahan intelektual sehingga mengkaji secara mendalam tentang IPA, yang dalam
makalah ini penulis akhirnya menyimpulkan bahwa Ilmu Perbandingan Agama
merupakan ilmu yang mengkaji agama-agama dengan menggunakan beberapa metode
ilmiah dan dogmatis sekaligus (ilmiah-agamis, religio-scientific atau
scientific-cum-doktrinair). Ilmu Perbandingan Agama sangat bermanfaat bagi
seorang Muslim, sebab dengan mempelajarinya dapat memahami agama-agama lain baik
ajaran-ajarannya maupun
perkembangan penafsiran dan lembaganya secara empiris. Selanjutnya dapat
menemukan mutu manikam keunggulan ajaran Islam setelah dibandingkan dengan agama-agama
lain. Akhirnya dapat digunakan sebagai dialog, kerukunan hidup beragama dan dakwah.
Kata Kunci: IPA, keunggulan Islam,
kerukunan
Pendahuluan
Ilmu Perbandinghan Agama
(IPA) sering menimbulkan salah pengertian. Pertama, seseorang sering memahami
IPA sebagai ilmu yang hanya membandingkan antara agama yang satu dengan agama
lain. Padahal tujuan dari IPA bukan sekedar membanding-bandingkan, tetapi lebih
luas dari itu. Bahkan seorang sering mengira bahwa tugas IPA adalah menilai
kesalahan-kesalahan agama lain. Padahal menilai kesalahan-kesalahan agama lain
bukanlah tugas dari IPA, tetapi tugas dari Ilmu Kalam atau Teologi Islam.
Kedua, seseorang dengan apriori mengangap bahwa IPA mendangkalkan aqidah. Sebab
seseorang mengira bahwa dengan mempelajari IPA akan mengurangi keyakinan agama
Islam. Padahal justru dengan mempelajari IPA seorang Muslim akan semakin
menemukan mutu-manikam keunggulan ajaran agama Islam dibandingkan ajaran agama
lain. Mutu-manikam keunggulan ajaran Islam kurang tampak kalau tidak dibandingkan
dengan ajaran agama lain, tetapi justru tampak cemerlang setelah dibandingkan
dengan ajaran agama lain.
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dalam karangan ini akan dikaji Ilmu Perbandingan Agama secara seksama
meskipun dengan ringkas. Dengan demikian dapat mengurangi atau menghilangkan
beberapa sakwasangka tentang Ilmu Perbandingan Agama. Oleh karena itu pada
karangan ini secara singkat akan dibahas pengertian dan nama-nama Ilmu
Perbandingan Agama, obyek Ilmu Perbandingan Agama, metode-metode Ilmu
Perbandingan Agama, perkembangan Ilmu Perbandingan Agama, dan manfaat Ilmu
Perbandingan Agama bagi seorang Muslim.
Ilmu Perbandingan Agama.
1. Pengertian dan nama-nama Ilmu Perbandingan Agama.
Ilmu
Perbandingan Agama adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha
untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan (agama) dalam
hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini mencakup persamaan (kesejajaran) dan
perbedaannya. Selanjutnya dengan pembahasan tersebut, struktur yang asasi dari
pengalaman keagamaan manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan manusia
dapat dipelajari dan dinilai ( Ali, 1975: 5).
Di
samping nama Ilmu Perbandingan Agama, ada beberapa nama lain dari Ilmu
perbandingan Agama. Nama-nama tersebut antara lain: Allgemeine
Religionswissenschaft, Science of Religions, The History of Religions,
Comparative Studies of Religion, Phenomenology of Religion, Historical
Phenomenology, The Study of World Religions dan The Comparative Study of
Religions (Daya dan Beck, 1990: 57), Systematic Science of Religion
(Daya dan Beck, 1992: 30), Vergleichende Religionswissenschaft (Daya dan
Beck, 1992: 165), Ilmu Agama-agama (Daya dan Beck, 1990: 28), Ilmu
Agama, Sejarah Agama, Fenomenologi Agama (Daya dan Beck, 1990: 126). Dari
beberapa nama tersebut nama Phenomenology of
Religion dan Fenomenologi Agama kadang-kadang digunakan untuk
nama suatu bidang studi tertentu yang lebih sempit cakupannya dari studi Ilmu Perbandingan Agama, yaitu mengkaji
agama dengan metode fenomenologis saja.
Berdasarkan
nama-nama lain dari Ilmu Perbandingan Agama di atas, jelaslah bahwa Ilmu
Perbandingan Agama tidak hanya membanding-bandingkan agama saja, tetapi juga
melakukan kajian historis, fenomenologis, atau secara umum melakukan kajian
yang bersifat ilmiah atau scientific. Hal itu akan semakin jelas setelah
dibahas mengenai metode-metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama.
2.
Obyek Ilmu Perbandingan Agama
A.
Mukti Ali, seorang pakar Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, menjelaskan
bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundmental dan universal dari
tiap-tiap agama. Beberapa pertanyaan tersebut akan akan dijawab sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Beberapa pertanyaan yang bersifat fundamental dan
universal tersebut antara lain: apakah konsepsi agama tentang Tuhan? Apakah
konsepsi agama tentang manusia? Apakah konsepsi agama tentang dosa dan pahala?
Apakah hubungan kepercayaan dengan akal? Bagaimanakah hubungan antara agama
dengan etika? Apakah fungsi agama dalam masyarakat? dsb. ( Ali, 1975: 7).
Berbeda dengan A. Mukti Ali, Joachim Wach
dari sudut pandang yang lain, berpendapat bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama
adalah pengalaman agama. Menurut
Joachim Wach pengalaman agama berbeda dengan pengalaman psikis biasa.
Pengalaman agama mempunyai beberapa kriteria tertentu. Kriteria pertama,
pengalaman agama merupakan suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai
Realitas Mutlak. Kedua, pengalaman agama merupakan tanggapan yang menyeluruh
atau utuh (akal, perasaan, dan kehendak hati) manusia terhadap Realitas Mutlak.
Ketiga, pengalaman agama merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh,
mengesankan, dan mendalam dari manusia. Keempat, pengalaman agama merupakan
pengalaman yang menggerakan untuk berbuat. Pengalaman tersebut mengandung imperatif,
menjadi sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan (Wach, 1969:
31-36). Pengalaman agama yang subyektif ini diekspresikan atau diungkaplan
dalam tiga ekspresi, yaitu: a. pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran. b. pengalaman agama yang diungkapkan
dalam tindakan. c. pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok (Wach, 1969:
97). Pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran terutama berupa mite,
doktrin, dan dogma. Pengalaman agama ini dapat berbentuk symbol,
oral, dan tulisan. Tulisan-tulisan bisa berupa kitab
suci dan tulisan klasik Untuk keperluan memahami kitab suci diperlukan
literature yang sifatnya menjelaskan, misalnya Talmud, Zend dalam
Pahlevi, Hadis dalam Islam, Smrti di India, tulisan-tulisan
Luther dan Calvin dalam Protestan. Agama-agama besar juga mempunyai credo,
yaitu suatu ungkapan pendek tentang keyakinan, syahadat dua belas dalam
Kristen, dua syahadat dalam Islam, dan shema dalam Yahudi. Adapun
tema yang fundamental dalam pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran
adalah Tuhan, kosmos, dan manusia (Teologi, kosmologi, dan antropologi).
Selanjutnya pengalaman agama yang
diungkapkan dalam tindakan berupa kultus
(peribadatan) dan pelayanan. Peribadatan sebagai tanggapan terhadap Realitas
Mutlak harus dilakukan di mana, kapan, bagaimana caranya, dan oleh siapa?
Apakah ibadah itu harus dilakukan sendiri-sendiri atau secara berjamaah? Termasuk
dalam uangkapan perbuatan ini adalah kurban dengan segala seluk-beluknya.
Termasuk dalam pembahasan ini adalah maslah imitation, yaitu mencontoh
tingkah laku dan kehidupan seorang pemimpin agama. Termasuk dalam pembahasan
ini adalah keinginan supaya orang lain juga beragama seperti dia, yaitu masalah
missionary atau dakwah.
Akhirnya pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok berupa kelompok-kelompok keagamaan (Ecclesia atau Gereja, Kahal, Ummah, Sangha). Di sini dibahas juga masalah hubungan antara orang yang beragama dengan masyarakat umumnya, bahasa yang dipergunakan dalam pergaulan mereka baik antar-agama maupun intra-agama sendiri, fungsi, kharisma, umur, seks, keturunan, dan status (Ali, 1993: 79-81).
Akhirnya pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok berupa kelompok-kelompok keagamaan (Ecclesia atau Gereja, Kahal, Ummah, Sangha). Di sini dibahas juga masalah hubungan antara orang yang beragama dengan masyarakat umumnya, bahasa yang dipergunakan dalam pergaulan mereka baik antar-agama maupun intra-agama sendiri, fungsi, kharisma, umur, seks, keturunan, dan status (Ali, 1993: 79-81).
Ketiga
ekpresi pengalaman agama di atas (pikiran, tindakan, dan kelompok) yang menjadi
obyek Ilmu Perbandingan Agama meliputi
semua agama yang ada dan aliran-alirannya.
Kedua
pandangan di atas dapat digabungkan sebagai obyek Ilmu Perbandingan Agama. Pertanyaan-pertanyaan
yang fundamental dan universal bagi setiap agama dan pengalaman agama, keduanya
merupakan aspek-aspek penting dari obyek Ilmu Perbandingan Agama.
3.
Metode-metode Ilmu Perbandingan Agama.
Ada beberapa metode yang
digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode-metode tersebut ialah:
- Metode Historis.
Dalam metode ini agama
dikaji dari segi atau aspek periodesasi dan saling pengaruh antara agama yang
satu dengan agama lainnya. Di sini dikaji asal-usul dan pertumbuhan pemikiran
dan lembaga-lembaga agama melalui periode-periode perkembangan sejarah tertentu, serta memahami peranan
kekuatan-kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam periode tersebut (Wach,
1969: 21).
Agama yang dikaji dalam
metode ini bukan hanya agama secara keseluruhan, tetapi juga dapat dikaji
aliran-aliran tertentu dari suatu agama maupun tokoh-tokoh tertentu dari suatu
agama dalam periode tertentu dalam sejarah (Jongeneel, 1978: 49).
Bahan dalam kajian in biasanya
mempergunakan bahan primer dan sekunder, baik yang bersifat literer (filologis)
atau non-literer (arkeologis)
(Jongeneel, 1978: 51).
Beberapa contoh kajian
histories misalnya kajian C.J. Bleeker dan G. Widrengen dalam bukunya Historia
Religianum, Handbook for the History of Religious. R.J.Z. Werblowsky dalam
bukunya Histoire des Religions. Ugo Bianchi dalam bukunya La Storia
delle Religioni. J.P. Asmussen dan J. Laessoe dalam bukunya Handbuch der
Religiongeschichte. H. Ringgren dan A.V. Strom dalam bukunya Religious
of Mankind. Today and Yesterday.
T.O. Ling dalam bukunya History of Religion East and West. E. Dammann
dalam bukunya Grundriss der Religionsgeschichte, dan S.A. Tokarev dalam
bukunya Die Religion in der Geschichte der Volker (Whaling, 1984:
57-63).
Para sarjana yang mempergunakan metode historis ini antara
lain: C.J. Bleeker, G. Widrengen, A. Reviolle, A. Bertholet dan Fr. M. Muller
(Jongeneel, 1978: 59).
b. Metode Sosiologis.
Dalam metode ini dikaji
problem-problem agama dan masyarakat dalam hubungannya satu sama lainnya. Banyak
yang dapat dikaji dalam metode ini. Misalnya pengaruh kehidupan masyarakat dan
perubahan-perubahannya terhadap pengalaman agama dan organisasi-organisasinya;
pengaruh masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, praktek-praktek agama,
golongan-golongan agama, jenis-jenis kepemimpinan agama; pengaruh agama
terhadap perubahan-perubahan sosial, struktur-struktur sosial, pemenuhan atau
fustrasi kebutuhan kepribadian; pengaruh timbale balik antara masyarakat dengan
struktur intern persekutuan agama (segi keluar-masuknya jadi anggota, segi
kepemimpinannya, toleransinya, kharismanya, dsb.); pengaruh gejala-gejala kemasyarakatan
(mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi, dsb.) terhadap
agama; pengaruh agama terhadap etik, hukum, negara, politik, ekonomi,
hubungan-hubungan sosial, dsb. (Jongenel: 1978: 68-69).
Beberapa contoh dari metode sosiologis ini misalnya: kajian
Emile Durkheim mengenai hubungan totem dengan masyarakat. Menurut Emile
Durkheim bentuk dan macam totem tergantung pada bentuk masyarakat. Dalam
kajian lainnya ia menghubungkan antara gejala bunuh diri dengan Katolik dan Protestan. Menurutnya
gejala bunuh diri di kalangan Katolik lebih sedikit dibandingkan di kalangan
Protestan. Hal itu terjadi karena masyarakat di kalangan Katolik lebih banyak
tergantung pada tradisi, sehingga problem-problem yang menimpa
anggota-anggotanya dapat diselesaikan melalui tradisinya. Sedang di kalangan
Protestan lebih bersifat individual, sehingga problem-problem yang menimpa
anggota-anggotanya terpaksa dipecahkan secara individual.
Contoh lainnya misalnya kajian
Max Weber dalam bukunya The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism
tentang
hubungan antara ajaran etik Protestan dengan sikap kapitalis (Nottingham, 1985:
136-137). Renato Poblete SJ dan F. O’Dea dalam penelitiannya pada para imigran
Puerto Rico di New York dengan judul “Anomie
and the Quest for community,” The Formation of Sects among the Puerto Ricans of
New York,”
menjelaskan bahwa konversi pemeluk Gereja Katolik ke gereja Pentecostal
bermotif pembebasan dari krisis sosial dan situasi anomi yang menimbulkan
krisis batin (Hendropuspito, 1986: 85-86).
Beberapa sarjana yang
menggunakan metode sosiologis antara lain: Joachim Wach, Milton Yinger, G. Le
Bras, Gustav Mensching, (Jongeneel, 1978: 69), Fustel de Coulangers, Emile
Durkheim, Max Weber, Ernst Troeltsch, Werner Sombart, Max Scheler (Wach, 1969:
23).
- Metode psikologis.
Di sini dikaji aspek
batin dari pengalaman agama individu maupun kelompok (Wach, 1969: 23). Di dalam
metode ini dikaji interrelasi dan interaksi antara agama dengan jiwa manusia
(Jongeneel, 1978: 86). Kajian psikologis ini meliputi masalah arketipus,
symbol, mite, numinous, penyataan (wahyu), iman,
pertobatan, revival, suara hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah,
pengakuan dosa, pengampunan, kekhawatiran, kebimbangan, penyerahan diri,
kelepasan, askese, kesucian, mistik, meditasi, kontemplasi,
ekstase, orang-orang introvert agama, orang-orang ekstrovert
agama, kehidupan jiwa orang-orang psikose, psikopati, neurose,
dsb
Beberapa contoh dari penggunaan metode psikologis
misalnya: kajian agama yang dilakukan oleh J. M. Charcot dan P. Janet. Mereka
menyimpulkan bahwa agama dapat dijabarkan terutama kepada neurose dan histeri.
Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama harus dipandang sebagai suatu gejala
dari tahun-tahun masa kecil yang hidup terus
dalam kedewasaan, suatu ketidakdewasaan yang kolektif, suatu simtom
neurotis, suatu impian, suatu illusi. W. Wund berpendapat bahwa agama
ditinjau dari segi asal-usulnya merupakan gejala yang berhubungan dengan
kehidupan jiwa bangsa, bukan kehidupan jiwa individu. William James
menyimpulkan bahwa orang healthy minded soul dapat mengembangkan diri
secara selaras, sedang orang yang sick soul bersifat pesimistis
dan bertabiat melankolis (Jongeneel, 1987: 88-89). Gordon Allport
membagi masyarakat religius ke dalam tipe instrinsik dan ekstrinsik. Starbuck mengkaji tentang fenomena konversi
keagamaan. Leube di samping mengkaji tentang konversi keagamaan juga tentang pengalaman
mistik (Connolly, 2002: 192, 196).
Beberapa sarjana yang mengkaji agama secara
psikologis antara lain S. Freud, W.
James, Gordon Allport, Carl Jung, Edwin Starbuck, Charcox, Ribot, Janet, Smityh
and Fowler, Vande Kemp, dsb. (Whaling, 1984: 27-36).
d. Metode Antropologis.
Metode
ini memandang agama dari sudut pandang budaya manusia. Asal-usul dan
perkembangan agama dikaitkan dengan budaya manusia (Harsojo, 1984: 221).
Biasanya metode ini berjalan sejajar dengan aliran-aliran yang ada dalam
antropologi. Misalnya aliran evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme
(Daradjat at. all., 1983: 56-60).
Contoh
dari penggunaan metode antropologis ini misalnya: Kajian E.B. Taylor dalam
bukunya Primitive Culture, yang menyimpulkan bahwa menurut evolusi
asal-usul agama adalah animisme. Berikutnya Andrew Lang dalam bukunya The
Making of Religion menyimpulkan bahwa awal agama adalah kepercayaan kepada
dewa yang tertinggi. Akhirnya James Frazer dalam bukunya The Golden Bough
menyimpulkan bahwa magi merupakan agama yang tertua. Marett dalam
bukunya The Threshold of Religion menyimpulkan bahwa pangkal religi
adalah suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman
manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa
(Koentjaraningrat,1980: 46-61).
Beberapa
sarjana yang mengkaji agama dengan metode antropologis antara lain: Edward B.
Tylor, Andrew Lang, James George Frazer, Robert R. Marett, Wilhelm Schmidt, Arnold vn Gennep, Bronislaw
Malinowski, Robert H. Lowie (Waardenburg, 1973: xi, xiii).
e. Metode Fenomenologis.
Metode
ini mengkaji agama dari segi essensinya. Dalam metode ini pengkaji agama berusaha mengenyampingkan hal-hal yang
bersifat subyektif. Pengkaji agama berusaha mengkaji agama menurut apa yang difahami
oleh pemeluknya sendiri, bukan menurut pengkaji agama.
Cara
kerja metode ini adalah mengklasifikasi, menamai, membandingkan dan
melukiskan gejala agama dan gejala-gejala agamani tersendiri (tertentu), dengan
tidak memberikan penilaian tentang
nilai, kenyataan dan kebenaran agama dan gejala-gejala agama tersendiri
(tertentu), tetapi menyerahkannya kepada filsafat agama dan teologi
sistematis. Filsafat agama akan menilainya dalam terang akal-budi
yang murni, sedang teologi sistematis akan menilainya dalam Penyataan Ilahi
atau Wahyu (Jongeneel, 1978: 106-107).
Contoh
dari metode fenomenologis ini misalnya Rudolf Otto dalam bukunya The Idea of
the Holy mengkaji tentang yang kudus (holy) (Otto, !950: vii-viii). Gerardus
van der Leeuw dalam bukunya Religion in Essence and Manifestation
mengkaji tentang obyek agama, subyek agama dan obyek dan subyek
agama dalam hubungannya satu dengan lainnya (Leeuw, 1963: ix-xii). Mariasusai
Dhavamony dalam bukunya Phenomenology of Religion mengkaji bentuk-bentuk
primitif agama, obyek agama, agama dan pengungkapannya,
pengalaman religius, dan tujuan agama (Dhavamony, 1995: 11-15).
Annemarie Schimmel dalam bukunya Deciphering the Signs of God: A
Phenomenological Approach to Islam menkaji hal-hal yang suci dalam
Islam: alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci, tindakan yang
suci, firman dan kitab suci, individu dan masyarakat suci, Tuhan dan ciptaan-Nya
(Schimmel, 1996: 7).
Beberapa
sarjana yang mengkaji agama dengan metode fenomenologis antara lain: Ninian
Smart, G. Widrengen, Friedrich Heiler, Gustav Mensching, W. Brede Kristensen,
C.J. Bleeker, R. Otto, dan Gerardus van der Leeuw (Whaling, 1984: 64-67). Di
sini tampaklah beberapa sarjana yang di samping mengkaji agama secara
fenomenologis juga historis, yaitu C.J. Bleeker dan G.Widrengen. Hal ini logis,
karena metode fenomenologis lahir dari ibu kandung metode historis.
e. Metode Typologis.
Metode ini mengkaji agama atau
gejala-gejala agama dengan membuat tipe-tipe tertentu. Di sini gejala-gejala
agama yang ruwet disusun dengan tipe-tipe ideal. Dalam metode ini
disusunlah tipe-tipe mistik, teologi, peribadatan, kharisma
agama, pemimpin agama, kekuatan agama, kelompok-kelompok agama, kejiwaan
pemeluk agama, dsb.
Beberapa
sarjana yang menggunakan metode tipologis ini misalnya: Max Weber, Howard
Becker, Wiliiam James, Wilhelm Dilthy, Herder, Hegel (Wach, 1961: 26).
f. Metode Perbandingan atau Komparatif.
Dalam metode ini agama secara umum
atau gejala-gejala agama (unsur-agama) diperbandingkan satu dengan lainnya. Ada beberapa cara dalam
membandingkan ini. Menurut Ake Hultkranz, yang dibandingkan adalah
fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya. Menurut O. Lewis, perbandingan bisa
berupa perbandingan terbatas maupun perbandingan tak terbatas. Menurut
Platvoet, perbandingan dapat berupa agama-agama sebagai keseluruhan maupun
perbandingan gejala-gejala yang bersamaan di dalam agama-agama. Adapun van
Baaren dan Leertouver membedakan antara perbandingan transkultural
dengan perbandingan kontekstual. Dalam perbandingan transkultural
perhatian ditujukan kepada pada cara dan unsur-unsur agama yang dianggap oleh
penganut agama tersebut berbeda dengan cara dan unsur agama orang luar. Sedang
dalam perbandingan kontekstual agama atau unsur agama dibandingkan dalam
situasi konteks agama dan kebudayaan masing-masing. Akhirnya Ake Hulkrantz juga
menunjukkan perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional,
struktural, dsb.(Burhanuddin dan Beck, 1992: 53-56).
Beberapa
metode di atas biasanya dikenal sebagai metode yang bersifat ilmiah atau scientific.
A. Mukti Ali menyatakan bahwa metode ilmiah saja tidaklah cukup untuk mendekati
agama, perlu dilengkapi dengan metode lain yang khas agama yaitu metode dogmatis.
Oleh karena itu metode yang lengkap unruk mendekati agama adalah sintesis
dari metode ilmiah dan dogmatis yang disebut dengan metode religio-scientific
atau scientific-cum-doctrinair atau ilmiah-agamis (Ali, 1993: 79).
Berdasarkan
beberapa metode yang digunakan dalam Ilimu Perbandingan Agama di atas
(historis, sosiologis, psikologis, antropologis, fenomenologis, typologies, dan
komparatif) jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar
membanding-bandingkan agama. Ilmu Perbandingan Agama lebih merupakan ilmu yang
mengkaji agama secara luas yang bersifat ilmiah atau scientific dengan
menggunakan berbagai metode (historis, sosiologis, psikologis, antropologis,
fenomenologis, typologies, dan komparativ) dan metode dogmatis sekaligus
(ilmiah-agamis). Metode perbandingan atau komparatif hanyalah merupakan salah
satu saja dari metode yang dipakai dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode
perbandingan atau komparatif yang digunakanpun lebih luas dari persangkaan
orang, yaitu sekedar membanding-bandingkan agama. Metode perbandingan yang
dipakai dalam Ilmu Perbandingan Agama lebih luas dari pada itu, yaitu mencakup
perbandingan fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya, perbandingan terbatas
dan tak terbatas, perbandingan transkultural dan kontekstual, perbandingan
melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional, structural, dsb.
Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama.
1. Perkembangan di Dunia Barat.
Di
dunia Barat beberapa abad sebelum Yesus lahir, Herodotus (481 SM), beroros (250
SM), Cicero
(106-38 SM), Sallustius (86-34 SM) telah memberikan sketsa tentang sejarah
berbagai agama dan menggambarkan adapt kebiasaan bangsa-bangsa lain yang
diketahuinya pada waktu itu. Strabo (63 SM – 21 M) telah menulis dengan kritis
agama-agama di dunia Timur. Ia diikuti oleh Varro (116-27 SM) dan Tacitus
(55-117 M).
Selanjutnya
beberapa penulis Kristen apologis pada abad-abad pertama seperti Aristides
telah memberikan interpretasi tentang hubungan antara agama kafir, Yahudi dan
Kristen. Berikutnya Clement dari Alexandria
(202 M) menulis tentang agama Buddha. Saxo (1220 M) dan Snorri (1241) menulis tentang
agama-agama di Eropa Utara.
Marco
Polo (1254-1324 M) yang telah menjelajahi Asia Tengah pada tahun 1271 dan
Negeri Tiongkok pada tahun 1275 telah menulis tentang agama-agama Timur di
Eropa pada masa itu.
Pada
masa Reformasi dan Renaissanse, Erasmus (1469-1536 M) menulis tentang elemen-elemen
agama kafir yang terdapat dalam peribadatan agama Roma Katolik dan
ajaran-ajarannya. Kemudian diikuti oleh Toland dalam bukunya Christianity
not Mysterius (1696).
Sejalan
dengan semangat Rasionalisme, maka mulailah teori evolusi tentang
asal-usul agama, dengan menolak adanya revelation (wahyu). Hal ini
tampak dalam bukunya David Hume dengan judul Natural History of Religion
(1757) dan dalam bukunya Voltair berjudul Essay (1780).
Selanjutnya
diikuti dengan penelitian agama yang historis dari Duperon tentang agama
Persia; William Jones tentang agama Sanskrit; Champollion tentang agama Mesir
Lama; Rask tentang agama Persia dan India; Niebuhr, Botta, Layard dan lainnya
menulis tentang agama Babilonia. Kemudian Ernest Renan (1822-1892) menjadi orang
pertama yang menciptakan istilah “Comparative Study of Religion.”
Setelah
itu ilmu baru ini mendapat sambutan yang hangat di berbagai Universitas di
Barat. Sebelum penutup abad ke-19 sudah terdapat ahli-ahlinya di
Belanda, Switzerland,
Perancis, Italia, Denmark, Belgia dan Amerika.
Setelah itu diterbitkanlah beberapa buku, majalah, dan diadakan beberapa
konggres internasional ( Ali, 1975: 11-14).
Namun
Ilmu Perbandingan Agama dalam arti yang sebenarnya lahir pada saat Max Muller
(1823-1900) menulis beberapa karangannya tentang agama-agama. Oleh karena itu
Max Muller dapat disebut sebagai bapak Ilmu Perbandingan Agama.
Ilmu
Perbandingan Agama di Barat dapat berkembang dengan baik karena didukung oleh
suasana dan semangat ilmiah yang baik dan dana yang memadai.
2. Perkembangan di Dunia Islam.
Cukup
menarik bahwa di dunia Islam karangan atau tulisan tentang perbandingan agama
terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu bumi dan sejarah.
Misalnya tulisan agama-agama lain terdapat di dalam Kitab ad-Din wad-Dawlah
karangan Ali ibn Sahl Rabban at-Thabari. Namun harus diakui bahwa beberapa
tulisan tersebut bersifat apologis.
Selanjutnya
pada abad ke-11 tampillah Ibn Hazm (994-1064), salah seorang penulis besar
dalam Islam, telah menulis kitab sekitar 400 jilid tentang sejarah, teologi,
hadits, logika, syair, dsb. Kitabnya yang berkaitan dengan agama lain ialah Al-Fasl
fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal. Di dalam kitab tersebut Ibn Hazm membahas
tentang agama Kristen dan Kitab Bible.
Kemudian
salah seorang penulis Muslim terkemuka, Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani
(1071-1143) menulis Kitab Al-Milal wan-Nihal (1127). Di dalam kitab
tersebut ia membagi agama menjadi: Islam, Ahlul Kitab dan orang yang
mendapatkan wahyu tetapi tidak tergolong Ahlul Kitab, yaitu orng-orang
yang bebas berpikir dan ahli-ahli filasafat.
Namun
haruslah diakui bahwa perkembangan pebandingan agama di dunia Islam tidak luput
dari apologi. Tulisan yang bersifat apologis ini tampak dalam tulisan
Ahmad as-Sanhaji Qarafi (meninggal 1235) dalam bukunya Al-Ajwibah al-Fakhirah an al-As’ilah
al-Fajirah. Kitab ini merupakan jawaban terhadap buku Risalah ila Ahad
al-Muslimin yang dikarang oleh Uskup dari Sidon. Muhammad Abduh menulis buku Al-Islam
wan Nashraniyah ma’al ‘ilmi wal-Madaniyah, sebagai jawaban terhadap
tulisan-tulisan Farah Antun dalam Al-Jami’ah. Masih banyak beberapa
tulisan dari penulis Muslim yang bersifat apologis misalnya Husain
Hirrawi, Syaikh Yusuf Nabbani, Ahmad Maliji, Muhammad Ali Maliji, Abdul Ahad
Dawud, dsb. Di sini perlulah disebut karangan
apologis yang sangat baik, yaitu buku The Spirit of Islam,
karangan Ameer Ali.
Secara
garis besar dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di
dunia Islam kurang menguntungkan dibandingkan dengan Barat. Sebagian besar
kitab yang dikarang oleh penulis Muslim bersifat apologis. Kitab-kitab yang
membahas tentang agama lain banyak yang tidak orisinil sumbernya. Sedikit yang
orisinil dan itupun hanya mengenai agama Kristen. ( Ali: 1975: 15-19).
Di
samping itu dunia Islam lebih mementingkan pengembangan ilmu-ilmu ke-Islaman
(‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadis, Ilmu Kalam, Fiqih, Tasawuf, dsb.) dan dakwah,
dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu agama yang bersifat empiris. Patut
diperhatikan juga bahwa pada abad ke-19 beberapa Negara Islam dalam cengkeraman
penjajahan Negara Barat, sehingga perhatian dipusatkan untuk pembebasan atau
kemerdekaan negaranya dari penjajahan.
- Perkembangan di Indonesia
Di Indonesia Ilmu
Perbandingan Agama mulai diajarkan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan
Agama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1961, atau satu tahun setelah
berdirinya IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1964 terbitlah buku
pertama tentang Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Dr. A. Mukti Ali
dengan judul Ilmu Perbandingan Agama
(Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Setelah seperempat abad
lamanya belum terbit lagi buku Ilmu Perbandingan Agama yang membahas tentang
metode dan sistema. Baru pada tahun 1986 terbitlah buku Ilmu Perbandingan Agama
yang membahas tentang metode dan sistema yang dikarang oleh pengarang yang sama
(Dr. A. Mukti Ali) dengan judul Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia.
Memang selama seperempat
abad itu telah terbit beberapa karangan yang membahas tentang perbandingan
agama, tetapi kalau dibaca secara sekasama tampaklah bahwa uraian-uraiannya
masih berbersifat apologis dan kurang ilmiah. Lebih tepat beberapa
karangan tersebut disebut sebagai karangan teologis atau Ilmu Kalam. Sebab
biasanya dalam karangan tersebut agama-agama selain Islam diteropong atau
dinilai dari agama Islam.
Secara garis besar dapatlah
disimpulkan bahwa Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia kurang berkembang dengan
baik. Adapun sebab-sebabnya antara lain sebagai berikut:
a. Kekurangan bacaan ilmiah.
b. Kekurangan kegiatan penelitian
secara ilmiah.
c. Kekurangan diskusi akademis.
d. Masih rendahnya penguasaan bahasa
asing dari sebagian besar para mahasiswa dan
dosen, padahal hanya sedikit buku Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis dalam
bahasa Indonesia yang membahas secara analitis.
Di samping itu ada bebrapa
sebab yang bersifat fundamental, yaitu:
Pertama, pemikiran ulama di
Indonesia
tentang Islam lebih banyak menekankan bidang fikih yang bersifat normatif.
Kedua, setelah
pemberontakan PKI, Isalam di Indonesia lebih banyak menekankan semangat dakwah,
sehingga ilmu yang ditekankan ialah Ilmu Dakwah atau Missiologi.
Ketiga, karena Ilmu
Perbandingan Agama lahir dari Barat
sehingga menyebabkan salah sangka dan curiga di kalangan umat Islam.
Keempat, para peserta
kuliah Ilmu Perbandingan Agama kurang menguasai ilmu-ilmu bantu (Sejarah,
Sosiologi, Antropologi, Arkeologi, dsb.). Di samping itu mereka kurang
menguasai bahasa asing (Ali,1998:
17-21).
Di samping itu Ilmu
Perbandingan Agama kurang berkembang di Indonesia
karena kurang dana, minimnya pertemuan ilmiah, dan kurang informasi tentang
Ilmu Perbandingan Agama baik mengenai isinya maupun manfaatnya bagi kerukunan
hidup beragama maupun untuk integrasi bangsa Indonesia.
Manfaat Ilmu
Perbandingan Agama bagi seorang Muslim.
Ilmu Perbandingan Agama mempunyai banyak manfaat bagi
seorang Muslim. Adapun beberapa manfaatnya adalah sebagai berikut:
1. Dapat memahami kehidupan
batin, alam pikiran dan kecenderungan hati dari berbgai umat manusia.
2. Dengan mengetahui agama-agama lain seorang
Muslim dapat mencari persamaan-persamaan (lebih tepat kesejajaran-kesejajaran )
antara agama Islam dengan agama-agama lain. Dengan demikian dapat membuktikan
di mana letak keunggulan agama Islam dibandingkan agama-agama lain. Selanjutnya
dapat mengetahui bahwa agama-agama sebelum Islam itu sebagai pengantar terhadap
kebenaran yang lebih luas dan lebih penting, yaitu agama Islam.
3. Dengan membandingkan agama Islam dengan
agama-agama lain dapat menimbulkan rasa simpati terhadap orang-orang yang belum
mendapatkan petunjuk tentang kebenaran. Selanjutnya akan menimbulkan rasa
tanggung jawab untuk menyiarkan kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama
Islam kepada masyarakat luas.
4. Dengan membandingkan ajaran-ajaran agama
Islam dengan ajaran agama-agama lain akan memudahkan untuk memahami isi dari
agama Islam itu sendiri. Bahkan dengan cara membandingkan tersebut dapat memperdalam keyakinan seorang
Muslim terhadap ajaran-ajaran yang terkandung di dalam agama Islam itu sendiri,
atau dapat menampakkan mutu manikam ajaran Islam yang kadang-kadang tidak
disadari sebelum dibandingkan dengan agama lain.
5. Dengan mengetahui konsep-konsep ajaran agama lain
seorang Muslim akan dapat belajar menemukan konsep-konsep yang mudah dicerna
orang lain. Sebab sering ajaran Islam sulit difahami orang lain karena orang
Islam sendiri sering mengemukakan konsep-konsep ajaran Islam yang rumit dan
sulit.
6. Dengan mengetahui ajaran-ajaran agama lain
seorang Muslim dapat lebih baik dalam berdakwah. Sebab ia dapat lebih baik
dalam menentukan metode, materi, konsep-konsep, strategi, dsb. sesuaia dengan
sasarannya.
7. Pada era globalisasi ini dimana
bangsa-bangsa, suku-suku, golongan-golongan, dengan lebih mudah saling bertemu
dan berkomunikasi karena berbagai kepentingan, maka pengetahuan akan
agama-agama lain sangat dibutuhkan. Karena dengan bertemunya macam-macam
bangsa, suku dan golongan tersebut pada dasarnya juga saling bertemu agamanya.
Selanjutnya dengan memahami ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim akan lebih
mudah toleran dan hidup rukun dengan orang yang beragama lain. Akibat lebih
jauh dengan adanya kerukunan hidup beragama itu para pemeluk agama-agama dapat
saling bersatu untuk perdamaian dunia, mengentaskan kemiskinan, membangun
bangsanya atau dunia, memerangi kejahatan, meninggikan moral, dsb. ( Ali, 1975:
38-41).
8. Dengan menguasai Ilmu
Perbandingan Agama seorang Muslim akan
lebih mudah melakukan dialog
dengan pemeluk agama lain (Ali, 1993: 84).
Di samping itu dengan
mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, meneliti dan mengembangkannya, seorang
Muslim dapat mengkaji agama-agama lain terutama yang berada di Barat, sehingga
dengan sendirinya akan mengembangkan Occidentalisme atau pemahaman tentang
budaya dan agama Barat. Sehingga seorang
Muslim tidak hanya membiarkan agama Islam sebagai obyek kajian para Orientalis
, tetapi juga menjadi subyek dengan mengkaji agama-agama selain Islam (terutama
agama orang Barat).
Lebih dari itu Ilmu
Perbandingan Agama-pun dapat dijadikan sebagai ilmu bantu atau alat untuk
dakwah. Sebagaimana Ilmu Filsafat dan Logika dapat dipakai oleh para
Mutakallimin untuk membela agama Islam, karena musuh-musuh Islam-pun
menggunakan Ilmu Filsafat dan Logika untuk menyerang Islam, demikian juga Ilmu
Perbandingan Agama dapat digunakan oleh
para dai untuk berdakwah. Dalam hal ini “ilmu bukan untuk ilmu,” lebih khusus
lagi “Ilmu Perbandingan Agama bukan hanya untuk Ilmu Perbandingan Agama,”
tetapi ilmu atau lebih khusus lagi Ilmu Perbandingan Agama, untuk ibadah,
khususnya ibadah dalam bidang dakwah.
Kesimpulan.
1.
Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu yang mengkaji agama-agama dengan
menggunakan beberapa metode ilmiah dan dogmatis sekaligus (ilmiah-agamis,
religio-scientific atau scientific-cum-doktrinair).
2.
Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Barat lebih menguntungkan dibandingkan di Dunia Islam dan di Indonesia.
Perkembangan di Barat lebih menguntungkan karena didukung oleh suasana ilmiah
yang kondusif dan dana yang cukup tersedia. Perkembangan di dunia Islam dan di Indonesia
kurang menguntungkan di samping kurang kondosifnya suasana ilmiah juga masih kekurangan
dana.
3. Ilmu Perbandingan Agama sangat bermanfaat
bagi seorang Muslim, sebab dengan mempelajarinya dapat memahami
agama-agama lain baik ajaran-ajarannya maupun
perkembangan penafsiran dan lembaganya secara empiris. Selanjutnya dapat
menemukan mutu manikam keunggulan ajaran Islam setelah dibandingkan dengan
agama-agama lain. Akhirnya dapat digunakan sebagai dialog, kerukunan hidup
beragama dan dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti. Ilmu
Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Yogyakarta, 1975.
_______________. Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung,
1993.
Connolly, Peter (terj.)
Imam Khoiri. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta,
2002.
Daradjat, Zakiah (ed). Perbandingan
Agama, II. Jakarta,
1992.
Daya, Burhanuddin dan
Herman Leonard Beck (ed). Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda
(Beberapa Permasalahan). Jakarta,1990.
_______________. Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda. Jakarta, 1992
Dhavamony, Mariasusai
(terj.) A. Sudiarja et. all. Fenomenologi Agama. Yogyakarta,
1995.
Harsojo. Pengantar
Antropologi. Jakarta,
1984.
Hendropuspito, D. Sosiologi
Agama. Yogyakarta, 1986.
Jongeneel, J.A.B. Pembimbing
ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam
Ilmu Agama,I. Jakarta,
1978.
Koentjaraningrat. Sejarah
Teori Antropologi, I. Jakarta,
1980.
Leeuw, van der. Religion
in Essence and Manifestation. New
York, 1963.
Nottingham, Elizabeth K
(terj.) Abdul Muis Naharong. Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi
Agama. Jakarta,
1985.
Otto, Rudolf. The Idea
of the Holy an Inquiry the Non-Rational Faktor in the Idea of the Divine and
Its Relation to the Rational. New
York, 1950.
Schimmel, Annemarie (terj.)
Rahmani Astuti. Rahasia Wajah Suci Ilahi. Bandung, 1996.
Waardenburg, Jacques. Classical
Approaches to the Study of Religion Aims, Methods and Theories of Research, I, Introduction and Anthology. Paris, 1972.
Wach, Joachim. The
Comparative Study of Religions. Columbia,
1969.
Whaling, Frank.
Contemporary Approaches: to the Study of
Religion. New York,
984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar