DIRGAHAYU PROKLAMASI REPUBLIK INDONESIA KE 69 (1945-2014): HARI ESOK LEBIH BAIK DARI HARI INI DAN KEMARIN ALLAHU AKBAR!!! Program Studi Perbandingan Agama (Ushuluddin) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA: Februari 2011

Translate/Terjemah/ترجمة

Rabu, 23 Februari 2011

Selamat Memasuki Kuliah Semester Genap 2010/2011

Jajaran pimpinan, staf edukatif dan administratif Program Studi Perbandingan Agama (Ushuluddin) FAI UMS mengucapkan selamat memasuki masa kuliah Semester Genap 2010/2011 kepada para  mahasiswa Fakultas Agama Islam, khusus Prodi Ushuluddin semester II, IV, VI dan VIII. Semoga kalian dapat mempersiapkan diri, dan mengikuti seluruh program akademik di semester ini dengan lancar dan sukses.
Kelancaran dan kesuksesan anda merupakan kebanggaan dan kesyukuran bagi kami.
Untuk itu masukan dan saran dari para mahasiswa untuk perbaikan pelayanan di masa mendatang sangat diharapkan,
Semoga materi perkuliahan di semester ini khususnya dapat memperkaya wawasan keilmuan dalam ilmu-ilmu agama Islam yang berbasis komitmen kepada paradigma Islam (Islamic Worldview). Sehingga mahasiswa dan alumni Ushuluddin UMS akan menjadi benteng Ilmu-ilmu Islam dari serangan pemikir dan pemikiran asing (ghazwul fikri) yang merusak bangunan ilmu dan amal Islam.

Minggu, 13 Februari 2011

Islamic Worldview

TUNTUNAN ISLAM TENTANG HEMAT AIR
M.A. Fattah Santoso

Islam terkait sekali dengan air, karena setiap orang Islam yang mau beribadah atau melaksanakan hubungan vertikal dengan Tuhannya, melalui shalat, dia berurusan dengan air terlebih dahulu untuk digunakan dalam berwudlu. Ketika ia mempelajari Islam, maka biasanya ia akan mengkaji Fikih. Bab pertama yang akan dipelajarinya lazimnya adalah masalah thaharah (bersuci) yang sangat terkait dengan air.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia ternyata sangat membutuhkan air, baik untuk urusan domestik (rumah tangga, seperti minum, mandi dan cuci) dan irigasi ketika manusia masih di era agraris maupun untuk urusan industri ketika manusia memasuki era industri. Bila ada demand (kebutuhan), maka harus ada supply (penyediaan). Ketersediaan air berasal dari air permukaan (sungai dan danau), air dalam tanah dan mata air, yang dari tahun ke tahun cenderung berkurang akibat kerusakan lingkungan. Sementara itu, kebutuhan akan air dari waktu ke waktu semakin meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri. Bila dua kecenderungan yang bertolak belakang ini dibiarkan, akan muncul masalah berupa kesenjangan antara ketersediaan air dan kebutuhan akan air yang sekarang mulai dirasakan.

Minggu, 06 Februari 2011

Wacana Perbandingan Agama

Pluralisme: Kerancuan Istilah dan Pemahaman
Written by Anis Malik Thaha

Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di negeri kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.
Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Dari www.i-epistemology.net

Secularization of Science and Its Islamic Answer

Mulyadhi Kartanegara

In order to understand the significance of The Islamization of Science and its relevance to the contemporary world, it would be better for us to look at it from a wider context. It is for this reason, I would like to present, in this conference, three interconnected concepts: naturalization, secularization and Islamization of science. By naturalization of science, I mean a process of adaptation, or acculturation of science coming from outside to certain culture in a new country or area so that it will suit the cultural or religious values. Here I will present a number of cases in which this naturalization of science took place in the history—Mesopotamian, Egyptian, Greek and Islamic worlds. The purpose of this section is to demonstrate that science has never been value free or neutral, but it always culturally and ideologically laden.
The second section is on the Secularization of science, which means “the process of putting aside all spiritual dimensions from science. In this section I will address the secularization of science as took place in the western world, especially from the post-Renaissance era to the present day. The purpose of this section is to show that the secularization of science did happen in the contemporary world --both in theory and methodology--and became an imminent threat to the Islamic system of epistemology. The third section is on the Islamization of science. By this I mean the process of assimilation of western science—including its adaptation and acculturation—into Islamic worldviews and civilization. The purpose of this section is to reconstruct a science suitable fully to the Islamic values and principle.

Kamis, 03 Februari 2011

Kolom Kaprodi

KALIMAH SAWA’
Paradigma Tauhid-Qurani Versus Pluralisme-Sekular


قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ(64)
Wahai Ahlul Kitab, datanglah kepada kata yang sama, antara kami dan kalian, yaitu hendaklah kita tidak menyembah kecuali Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, dan hendaklah jangan menjadikan sebagian kita atas sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Maka bila mereka berpaling, katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang beragama Islam (Muslimun). (Ali Imran: 64).

Ayat di atas sangat menarik untuk dicermati oleh para penegak Aqidah dan Syari’ah Islam di bumi yang kini dipenuhi oleh ideologi sekularisme. Suatu ideologi yang membawa manusia kepada “abai” terhadap agama, karena kehidupan yang riil, mkehidupan yang hakiki –menurut mereka-- adalah kehidupan dunia ini. Itulah, agaknya, yang menyebabkan istilah ini diterjemahkan dalam bahasa Arab menjadi “dunyawiyyah” atau “al-laadiiniyyah”, yakni kehidupan yang berorientasi kepada keduniaan semata dan tidak memperdulikan ajaran agama sedikitpun. (M. Thalib, 2004)

Ayat ini sering dimanfaat oleh sebagian kaum Muslim yang terjangkiti ideologi sekularisme di atas, untuk mengatakan bahwa Al-Quran mengakui kesetaraan agama, sehingga manusia bebas memilih agama apa saja, karena semua akan sampai juga kepada Tuhan. Ayat tersebut dimaknai ajakan Nabi Muhammad SAW kepada Ahlul Kitab untuk mencari titiktemu agama-agama dengan mengakui kebenaran masing-masing agama. Menurut penafsiran mereka ayat ini menunjukan bahwa Al-Quran mengakui bahwa hakekat keberagamaan adalah sama. Adanya Islam, Kristen, Hindu dan Budha hanya kulit atau bungkusnya saja. (Nurcholish Madjid, 2002)
Pemikiran ini kemudian terus berkembang menjadi paham pluralisme agama. Yakni melihat semua agama adalah hakekatnya sama, yaitu sama-sama mengakui keberadaan Tuhan, di mana manusia harus mengabdikan diri kepada-Nya. Perbedaan agama hanyalah merupakan perbedaan jalan yang dilalui menuju tujuan yang satu. Yaitu Yang Ilahi, Yang Maha Kuasa dan sebagainya.
Secara sekilas, paham pluralisme ini sepertinya baik, karena membawa seseorang untuk tidak terlalu mempersoalkan perbedaan agama, sehingga lahirlah persaudaraan antara pemeluk agama. Namun, terdapat implikasi negatif dari pandangan hidup pluralisme tersebut, yaitu membawa orang menjadi abai terhadap agama, karena memandang agama hanya dari sudut esensi dan substansinya, dan meninggalkan syari’ah agama, karena di anggap sebagai sumber perpecahan kemanusiaan. Seolah-olah dengan menjalankan syari’ah yang berbeda antara satu agama dengan lainnya akan menimbulkan bencana kemanusiaan. Paham pluralisme ini justru membawa manusia untuk tidak siap berbeda dengan yang lain. Akhirnya terjadikan pencampuradukan keyakinan dan pengamalan agama dengan dalih titik temu antar agama.
Dalam realitas kehidupan dapat ditemui bentuk pencampuradukan aqidah dan ibadah agama, seperti Natalan Bersama, Doa Bersama, dan sejenisnya.
Islam dengan sumbernya Al-Quran dan al-Sunnah memberikan pedoman yang tegas, jelas, dan tuntas mengenai persoalan agama dan kemanusiaan. Dalam masalah agama tidak ada pencampuradukan, yang ada justru ketegasan dan kejelasan antara yang haq dan batil. Namun dalam urusan kemanusiaan secara umum Islam menganjurkan untuk bersaudara, saling menghormati dan saling menenggang satu sama lain.
Ayat di atas justru merupakan ajakan yang tegas dari Al-Quran kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) waktu itu menuju kalimah sawa’ (suatu kata yang sama atau titik temu), yaitu untuk kembali kepada ajaran yang benar, ajaran tauhid, dengan cara beriman kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak lain adalah memeluk agama Islam, sebagai satu-satu agama Allah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah. Ayat di atas juga berisi larangan untuk menyekutukan Allah, larangan mengangkat sesama manusia sebagai Tuhan, sebagaimana banyak dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Oleh karena banyak di antara kaum Ahlul Kitab yang berpaling dari ajakan Rasulullah SAW tersebut, maka Allah memerintahkan kepada Muhammad untuk mengatakan: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang beragama Islam (Muslimun)”.
Maka terminologi “Kalimah Sawa’” adalah merupakan paradigma Tauhid-Qurani yang mematahkan paham pluralisme-sekular, yang memandang agama sama saja, tidak penting membicarakan agama di ruang publik, dan diakhiri dengan abai terhadap agama, sebagaimana polah-tingkah Ahlul Kitab.
Kini, polah tingkah Ahlul Kitab itu juga telah menjangkiti sebagian umat Islam, misalnya menerima ajaran agama apabila sesuai dengan tuntutan hawa nafsunya, dan menolah sebagian yang lain yang dipandang tidak sesuai dengan tuntutan hawa nafsunya. Akhirnya muncullah pemikiran Liberalisme Islam, yang berkedokkan pembaharuan pemikiran Islam, tetapi ujung-ujungnya adalah upaya pembebasan diri dari ajaran Islam (melepaskan diri dari ikatan dan lindungan agama Islam).
Prodi Ushuluddin (bukan uculuddin) bermaksud memberikan pencerahan pemikiran secara Islami, dengan mengkaji segala fenomena keagamaan dan keberagamaan umat manusia, untuk dikembalikan kepada orisinalitas Islam yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana diperjuangkan oleh gerakan Muhammadiyah. (syamsul hidayat)

Jurnal Ishraqi

TASAWUF KONTEMPORER DALAM PEMIKIRAN
SYEIKH SA’ID HAWWA

Oleh :
Akhmad Yasin Hadi Pranoto dan Abdullah Mahmud


Abstrak
Sa’id adalah tokoh spiritual terkenal dijamannya dan belajar dari beberapa syeikh. Dia tidak mau terikat oleh tarekat apapun kendati diijinkan syeikhnya untuk mengajarkan suluk kepada orang lain (Hawwa,1995: 18). Sebab perbedaan tarekat biasanya hanya dalam wirid dan dzikirya saja (al-Khotib, 2003: 160) dan perbedaan ini bukan pada subtansinya. Tidak adanya konsep tarekat yang jelas mengindikasikan kalau Sa’id bertasawuf tanpa terakat atau semakna dengan neo sufisme (reformed sufism) yang akan lebih relevan dengan kehidupan masyarkat modern sejauh diterapkan secara konsisten (Anwar, 2002:16) yang menekankan aktivisme intelektual maupun sosial.

Menurut Sa’id Hawwa Objek kajian ilmu tasawuf memiliki dua segi, segi teoritis dan segi praktis. Akan tetapi setiap disiplin ilmu tentulah objek kajian utamanya akan selalu berkembang, sehingga lahirlah objek-objek lain yang bermula dari objek tersebut. Ini tentunya membutuhkan istilah-istilah linguistik, istilah-istilah ilmiyah dan simbol-simbol khusus. Seperti kebutuhan akan adanya sekolah, guru, pengalaman, eksperimen, peristiwa, kasus dan lain-lain. Seperti juga timbulnya kekeliruan dan kesalahan yang membutuhkan pemurnian dan penyempurnaan, oleh sebab itu semua yang di sebutkan diatas membutuhkan adanya sistem, dasar, landasan-landasan teoritis serta kaidah-kaidah metodologis yang mampu mengendalikan dan menjauhkannya dari penyimpangan. Sehingga semua materi kajiannya tetap berada pada proses perkembangan yang wajar.

Pendahuluan
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang memiliki kefitrahan atau kesucian. Cahaya fitrah ini melekat pada manusia sejak awal penciptaan manusia, sehingga pada proses berikutnya manusia itu lahir dengan kesucian, ibarat buku yang masih kosong atau tabularasa. Karena memang hakekat ‘azali manusia berada di atas kesucian ilahiyah dan kesucian ilahiyah itu selamanya tidak akan berubah.
Pada perkembangan berikutnya, manusia hidup pada kondisi lingkungan yang serba materi. Sebagian manusia tidak bisa mengimplementasikan kefitrahannya dalam kehidupan sebagai khalifah fi al-ardl, sehingga terbentuklah karakter hidupnya menjadi berorientasi pada keduaniawian atau materi. Pada puncaknya, mereka sampai pada kulminasi kemakmuran materi. Manusia modern telah mengalami kegersangan spiritual. Hal ini tampak dari dangkalnya kecerdasan spiritual dan ketumpulan hati dalam mencerap pesan-pesan ketuhanan yang tersirat di alam makro kosmos, messo kosmos dan mikro kosmos-Nya.
Masyarakat modern terlanjur mendekati agama hanya dengan akal dan pengindraan, tidak disertai dengan hati nurani. Sehingga hal-hal yang tidak logis dan empirik kadang diabaikan begitu saja. Padahal agama memiliki aspek yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan tidak bisa diindra. Seperti misalnya bentuk kesabaran dan kesyukuran serta keihlasan. Secara garis besar, islam memiliki dua dimensi yang saling melengkapi satu sama lain.
Adalah Frithjof Schuon dalam “transcendent unity of religions”nya mengatakan bahwa agama memiliki dimensi eksoteris dan dimensi esoteris. Urusan agama tidak hanya sekedar pada tataran eksoteris, tetapi juga menjangkau pada tataran esoteris yang tidak banyak orang meraih pemehaman tentangnya.
Dalam Islam, dimensi eksoteris telah banyak dibicarakan oleh ilmu fiqh. Namun ilmu ini saja tidak cukup, karena ada banyak hal yang belum bahkan tidak dibahas oleh fiqh, seperti masalah khusu’, sabar, ikhlas dan lain-lain. Ilmu tentang keadaan hati ini lebih sering dikenal dan populer dengan istilah ilmu tasawuf. Dimana sebagian orang menganggap bahwa ilmu ini menitikberatkan pengkajian pada hal-hal yang transenden dan bersigat bathiniyah semata. Inilah spesifikasi kajian taswuf, sebagai upaya menjembatani kebutuhan manusia akan ilmu-ilmu keruhanian/bathiniyah.
Terlepas dari pro dan kontra dengan istilah sufi dan tasawufnya, penulis menyakini bahwa tasawuf dalam Islam adalah sebuah realitas yang tidak bisa diingkari. Sebagaimana tidak terlepaskannya kesadaran tertinggi dengan Islam. Memang dalam sejarah, pada generasi tertentu ada sufi yang hanya memfokuskan secara total pada ilmu-ilmu akherat. Namun pada perkembangan berikutnya tasawuf tidak bersikap apriori dan apatis dengan perkembangan peradaban dunia dan banyak para sufi yang aktif menjalankan perannya sebagai kontributor peradaban dunia Islam.
Bangkitnya tasawuf adalah untuk mengimbangi ritual-ritual peribadatan yang sarat dengan nuansa simbolik dan jauh dari nuansa hakikat. Maka semestinya tidak ada dikotomi antara ilmu bathin dan ilmu lahir. Adanya dikotomi ini menyebabkan hilangnya spontanitas pemahaman terhadap jalan Islam sejati yang menyatu dan juga memunculkan konflik antara ulama ortodok dengan kaum sufi. Padahal nabi sendiri dalam hal ini pernah bersabda yang artinya:

Ilmu syari’at adalah amalku.
Jalan hakikat adalah jalanku.
Hakikat bathin adalah keadaanku.

Imam syafi’i yang mazhabnya banyak berkembang di Indonesia juga pernah berkata:

Barangsiapa bersyari’at tanpa hakikat
Ia telah meninggalkan jalan yang besar.
Barangsiapa berhakikat tanpa syari’at
Maka ia adalah ahl bid’ah.
Barangsiapa menyatukan keduanya
Ia akan menemukan kesadaran.

Kesadaran akan kehidupan bathin manusia merupakan syarat penting bagi pemenuhan predikat kemanusiaannya. Kesadaran ini datang sebagai puncak dari perjuangannya dalam, berbagai suasana bathin dan pemuasan kebutuhan yang mendasar.
Dari pembahasan di atas, maka menjadi hal menarik untuk mengetahui konsep tasawuf yang memadukan kedua dimensi itu, lahir dan bathin, isoteris dan eksoteris, dengan mengedepankan nash-nash kitab suci dan hadis mutawatir sebagai sandaran. Adalah Syeikh Sa’id Hawwa, seorang tokoh spiritualis, mantan aktivis mahasiswa sekaligus mujahid, telah berhasil menformulasikan konsep tasawuf kontemporernya.
Kita tahu bahwa pesan tasawuf kini lebih mendesak untuk disampaikan. Terutama karena kenyatan bahwa dunia semakin terikat oleh materialisme dan konsumerisme. Pemikir Islam kontemporer Sayid Husen Nasr melihat bahwa masyarakat modern yang sering digolongkan sebagai the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanik dan otomatik, bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup melainkan kian dihinggapi rasa cemas karena kemewahan yang diraihnya. Sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya terreduksi lalu terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa fenomena masyarakat modern sekarang ini mengalami kilas balik peradaban dari yang serba materi dan segala sesuatu diukur dan di analisis dengan nalar logika, maka sekarang ada kecenderungan baru yakni tidak lagi mengutamakan materi namun mensinergikannya dengan nuansa-nuansa bathin dan mulai menerima impuls-impuls yang dicerap oleh hati dengan intuisinya. Maka tidak mengherankan kalau sekarang cukup marak kajian-kajian mengenai dunia spiritual dalam agama maupun diluar agama atau biasa dikenal dengan spiritualitas tanpa agama. Dan bisa disaksikan juga maraknya beberapa acara di TV yang mulai secara sporadis menayangkan adegan dan kisah yang mistis. Ini adalah sebuah fenomena dari ketidakpuasan manusia modern yang menyangka kalau materialisme dapat memberikan kebahagiaan sejati, ternyata tidak dan bahkan sebaliknya, dunia materi hanya menumpulkan ketajaman hati untuk menyerap intuisi dan ilham yang mencerahkan.
Dalam hal ini seorang tokoh -di Yordan lebih dikenal sebagai penulis kontemporer- modern, syeikh Sa’id bin Muhammad Da’ib Hawwa yang berkebangsaan Suriah berhasil meformulasikan konsep ajaran tasawuf yang mencakupi aspek-aspek lahiriyah dan aspek-aspek bathiniyah.
Dalam bahasanya HAMKA konsep seperti diatas disebut tasawuf modern yang dipopulerkan dengan istilah tasawuf positip sementara penulis menamai konsep tasawuf Sa’id dengan nama tasawuf kontemporer.
Untuk menghindari terjadinya pembahasan yang rancu dan melebar, penulis merumuskan bagaimanakah konsep ajaran tasawuf Sa’id Hawwa.
Penulis menggunakan jenis penelitian lapangan atau sering disebut library recearch atau juga bisa di sebut penelitian bibliografi dengan pendekatan historis filosofis. Data-data penelitian diperoleh dengan menggunakan metode dokumentasi, yang kemudian diklasifikasikan menjadi data-data primer dan data-data sekunder. Yang termasuk data primer adalah yang ditulis langsung oleh syeikh Sa’id Hawwa mengenai ajaran tasawufnya. Seperti terdapat dalam buku Tarbiyatunaa ar-Ruhiyah, al-Mustakhlosh fi Tazkiyah al-Anfus, Fi Manaazili ash-Siddiiqiin wa ar-Robaaniyiin, dan pada serial ma’rifatnya: Allah Swt., Muhammad SAW., dan al-Islam. Adapun data-data sekundernya difungsikan sebagai penyempurna dan pembanding dari data yang sudah ada. Salah satunya adalah tulisan Zuhair as-Syawisy tentang Sa’id Hawwa yang dimuat di harian umum “al-Liwa” edisi 15/3/1989 M di Yordania.

Biografi Sa’id Hawwa
Nama lengkapnya adalah Sa’id bin Muhammad Da’ib Hawwa, lahir di kota Hammat Suriah tahun 1935 M. Ibunya wafat saat Sa’id berusia dua tahun dan bapaknya sahid dalam pertempuran melawan kolonialis prancis. Sejak kecil mulai bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran sosialis, nasionalis, ba’ts dan ikhwanul muslimin.
Ia belajar dari sejumlah syeikh seperti syeikh Muhammad Al-Hamid, syeikh Muhammad Al-Hasyimi, syeikh Abdul Wahhad Dabus Wazit, syeikh Abdul Karim Ar-Rifa’i, syeikh Ahmad Al-Murod, syeikh Muhammad Ali Al-Murod. Dan berguru juga pada beberapa ustadz ternama seperti Musthofa As-Siba’i, Musthofa Az-Zarqo’ dan Fauzi Faidlullah. Pendidikan formalnya berakhir di jurusan syari’ah Perguruan Tinggi Damaskus tahun 1961 M. Di kampus ia termasuk aktifis senior yang pernah menjadi ketua organisasi mahasiswa dan terlibat tiga kali aksi demostrasi besar-besaran. Pernah juga mengikuti khidmah askariyah (pendidikan militer) pada tahun 1963 sehingga menjadi perwira cadangan. Setahun kemudian ia menikah dan dikaruniai empat anak.
Sa’id banyak memberikan ceramah, khutbah dan mengajar di Saudi, Suriah, Emirat, Iraq, Yordania, Mesir, Pakistan, Amesika dan Jerman. Pernah juga terlibat peristiwa dustur di Suriah tahun 1973 yang berakibat dipenjarakannya selama lima tahun. Dalam penjara menulis sebelas jilid kitab tafsir “Al-Asas fit Tafsiir”.
Ia meninggal pada usia 53 tahun di rumah sakit Islam Amman siang hari kamis awal sya’ban 1409 H bertepatan dengan 9 maret 1989 M. Jenazahnya disholatkan di masjid Al-Faikha’ Asy-Syaibani dan dikebumikan di pemakaman Sahhab. Ikut memberikan sambutan dalam upacara pemakaman adalah syeikh Ali Al-Faqiir, penyair Abu Hasan, syeikh Abdul Jalil Ar-Rozuq, ustadz Faruq al-Mansukh dan sastrawan Abdullah Tanthowi.

Ajaran Tasawuf Sa’id Hawwa
Dalam tasawuf akan didapatkan banyak persoalan. Terkait dengan penjelasan historisnya, ungkapan atau ucapannya dan tingkah lakunya.
Sungguhpun demikian lapangan atau objek kajian dari disiplin ilmu ini secara otentik dikembalikan pada hal yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan dan melengkapi, yang satu merupakan urutan atau rentetan logis dari yang lain.
Pembahasan pokoknya terdiri dari kajian tentang ruh, ‘aql, qolb, dan nafs. Kecuali itu, ia juga melakukan kajian pada segi terapan (ruhaniyah) dari ilmu aqo’id (theologi) dan segi moral dari ilmu fiqh. Kemudian berupaya (bermujahadah) untuk mengejawantahkan secara sempurna ajaran-ajaran Rosulullah saw., para sahabatnya dan tabi’in beserta perjalanan mereka dalam menempuh maqom-maqom Islam, Iman, Ihsan, Taqwa, Syukur dan seterusnya.
Objek kajian ilmu tasawuf memiliki dua segi, segi teoritis dan segi praktis. Akan tetapi setiap disiplin ilmu tentulah objek kajian utamanya akan selalu berkembang, sehingga lahirlah objek-objek lain yang bermula dari objek tersebut. Ini tentunya membutuhkan istilah-istilah linguistik, istilah-istilah ilmiyah dan simbol-simbol khusus. Seperti kebutuhan akan adanya sekolah, guru, pengalaman, eksperimen, peristiwa, kasus dan lain-lain. Seperti juga timbulnya kekeliruan dan kesalahan yang membutuhkan pemurnian dan penyempurnaan, oleh sebab itu semua yang di sebutkan diatas membutuhkan adanya sistem, dasar, landasan-landasan teoritis serta kaidah-kaidah metodologis yang mampu mengendalikan dan menjauhkannya dari penyimpangan. Sehingga semua materi kajiannya tetap berada pada proses perkembangan yang wajar.

Terminologi Ruh.
Sa’id Hawwa mengatakan bahwa sebenarnya dalam disiplin ilmu tasawuf itu tidak terdapat kajian tentang hakikat ruh, sebab hal ini sudah merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh nash. Bahkan nashpun tidak membicarakan hakikat yang satu ini.
Firman Allah :
ويــسألونك عن الرٌوح قــل الرٌوح من أمر ربٌى وما اوتيتم من العــلم
إلاٌ قــليلا (الاسراء : 85)

Artinya:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: ruh itu termasuk urusan Robb-ku dan tidaklah kamu diberi pengertian kecuali sedikit” (QS. al-Isro’: 85).
Dalam penjelasan ayat diatas Sa’id menegaskan bahwa pembicaraan tentang hakikat ruh merupakan tindakan berpura-pura, sedangkan para sufi jauh dari sifat berpura-pura (Hawwa,1995: 55). Masalah seluk beluk ruh, apalagi yang berkaitan dengan eksistensinya bukanlah pembicaraan yang mudah dan tidak semua orang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang dikehendaki oleh Allah swt. Kalaupun ada yang memaksakan membicarakan atau membahas hakikat ruh maka hal itu sebatas gejala dan potensi ruh saja. Secara
a garis besar pembicaraan mengenai ruh hanya berkisar pada dua persoalan, yakni mengembalikan ruh pada pengetahun asalnya dan pada kesempurnaan pengabdiannya.
Firman Allah:

واذ اخذ ربٌكم من بنىادم من ظهـورهم واشهدهم عـلىا نفسهم الست بربٌكم قالوا بلى شهد نا .( الاعــرا ف : 172)

Artinya:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka (seraya berkata): bukankah Aku ini Tuhanmu?, mereka menjawab: betul kami menyaksikannya (bahwa Engkau Tuhan kami)”. (QS. al-A’rof: 172).
Dalam riwayat Ahmad bin Hambal dengan sanad majhul, Ubai bin Ka’ab mengatakan bahwa Dia mengumpulkan mereka, maka dijadikanlah mereka sebagai ruh, kemudian membentuknya dan menanyai mereka. Maka Dia berkata: bukankah Aku ini Tuhanmu. Dan mereka membenarkannya.
Pada awal penciptaannya, ruh tahu akan Allah, menyatakan bahwa Dia adalah Tuhannya. Namun setelah ruh menyatu dan menempati jasad, secara tiba-tiba datang sifat keterasingan dan sifat kebuasan, sehingga pengetahuan akan Allah dan penghambaan kepada-Nya menjadi hilang. Selain karena pengaruh lingkungan.
Ruh suci yang masuk dalam tubuh terpengaruh oleh sejumlah faktor yang mengelilinginya dan sedikit banyak faktor-faktor itu berdampak pada pengetahuannya yang murni mengenai Allah dan pengabdian kepada-Nya. Hal ini tidak bisa tidak, membutuhkan upaya pengembalian kepada keadaannya semula, sebab tidak sedikit orang yang terjerumus pada tindakan yang melampaui batas (ekstrem) yang dapat menjauhkan dirinya dari fitrah kemanusiaannya atau terjerembab pada kelal
laian yang menjauhkan dari pengabdian (‘ubudiyah) kepada Allah.
Firman Allah:

يا اهـل الكتب لا تغـلوا في د ينكم ولا تقولوا علي الله الا الحقٌ ( النساء :171)


“Wahai ahlul kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam beragama dan janganlah kamu mengatakan kepada Allah kecuali yang benar” (QS. an-Nisa’: 171).
Jika seseorang telah mengetahui, mengenal dan memahami dengan baik tentang dirinya baik aspek material (jasmaniyah) maupun aspek spiritual (rohaniyah) maka ia dapat merasakan fungsi potensial dari ruh ilahiyah itu melalui pancaran yang dihasilkan dari esensi ketakwaan yang tinggi dan suci (adz-Dzaky, 2001: 37). Mengembalikan ruh pada kesempurnaan semula bukanlah pekerjaan mudah dan tidak dapat dilakukan oleh setiap orang.
Adalah bahwa manusia dalam hal ini dituntut untuk mewujudkan asma Allah berikut penghambaan secara kaaffah dan ikhlas. Jalan yang harus di tempuhnya adalah dengan memiliki ilmu yang benar, bergaul dengan ahli suluk dan melakukan dzikir yang banyak. Pengetahuan yang benar disini dimaksudkan adalah pengenalan kembali ruh pada Allah, penghambaan yang murni berikut cara-caranya, belajar pada ahli ma’rifat dan mengikuti jejak mereka dengan melakukan amalan-amalan tertentu. Dalam tasawuf, masalah dzikir memang sangat ditekankan, sebab melalui dzikir ini perwujudan yang sempurna terhadap Allah bisa terpenuhi. (hawwa, 1995: 57).
Rosul pernah meyabdakan firman Allah yang artinya Aku bersama hambaku bila ia berdzikir mengingat-Ku (Bukhori dan Muslim). Demikian juga banyak nash yang menginformasikan keberadaan Tuhan atas hamba-Nya.
Kebersamaan Allah dengan hamba sangat banyak pengaruhnya. Diantaranya adalah Allah melindungi dan memelihara orang yang ahli dzikir, sehingga ia aman dari godaan setan dan melakukan kesalahan. Allah mewujudkan keinginannya dengan asma-Nya yang selalu ia sebutkan. Jadi kebersamaan Allah dengan ruh seseorang menjadikan ruh tersebut memperoleh suatu hal dari atau melalui asma dan sifat Allah, seperti ilmu, hikmah, rahmat, karomah dan bahkan mukasyafah ar-ruh. Inilah objek kajian pertama yang dicermati oleh Sa’id Hawwa.

Terminologi Qolb.
Asal kata qolb bermakna membalikkan, memalingkan atau menjadikan yang diatas jadi di bawah dan menjadikan yang di dalam jadi di luar. Qolb dalam bentuk kata benda atau isim mengandung arti lubuk hati, kekuatan, semangat dan keberanian. Pengertian qolb disini tentunya adalah makna rohaniyah, bukan makna lahiriyah yang dapat dilihat oleh mata kepala, makna rohaniyah qolb ini hanya bisa di lihat dengan penglihatan batin (basyiroh). Ia merupakan tempat menerima perasaan kasih sayang, pengajaran, ketakutan, keimanan, keislaman, keihsanan dan ketauhidan.
Allah menggunakan tiga istilah untuk menunjukan hati manusia itu antara lain sebagai berikut :

al-Qolb
Yakni lubuk hati yang masih bolak
k-balik daln belum mantap dalam memutuskan keyakinan dan kekuatan untuk menerima berita antara yang haq dan yang bathil.
Firman-Nya:

ان في ذ لك لذكرى لمن كان له قلب او القى السٌمع وهو شهيد (ق: 37)

Artinya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu peringatan bagi siapa saja yang memiliki hati atau menggunakan pendengaran lagi menjadi saksi”. (QS. Qof: 37).

ash-Shodr
Asal katanya bermakna kejadian, kembali, permulaan segala sesuatu,kukuh hati dan dada.
Firman-Nya:

ونزعـناما فى صـد ورهم من غـلٌ إخـوا ناعـلى سرر مـتـقا بلين (الحجر: 47)

Artinya:
“Dan Kami telah mencabut apa yang ada dalam dada mereka dari perasaan dendam dan iri, sehingga mereka merasakan persaudaraan, duduk diatas dipan berhadap-hadapan”. (QS. al-Hijr: 47).

al-Fuad
Yakni bermakna kematian, ketetapan, manfaat dan hasil.
Firman Allah swt. :

ما كـــذ ب ا لــــفـؤا د ماراى (النجم : 11)

Artinya:
“Hati itu tidak pernah berdusta dari apa yang ia lihat”. (QS. an-Najm: 11).

Ketiga istilah diatas sebenarnya memiliki fungsi yang sama yakni sebagai wadah dan media bagi Allah untuk menampakkan ayat-ayat-Nya berupa gambaran dan pemandangan batin yang mengandung isyarat, firasat dan hikmah. Namun orang-orang ahli ma’rifat (irfan) atau yang menyandang predikat al-‘Arif Billah sering membedakan dari ketiganya. Apabila hati belum mantap menerima cahaya keimanan ia dinamakan qolb. Tetapi jika sudah sadar untuk menerima ketiga hal diatas maka disebut shodr dan ketika hati telah kokoh kesadarannya maka ia dinamakan fuad. Pembedaan itu pada dasarnya adalah berdasarkan hal atau kondisi spiritual hati secara ruhani.
Namun persoalannya kemudian adalah apa ciri-ciri hati yang sehat dan hati yang mati, apa barometer dan kriteria penyimpangan dan kelurusannya, apa kaidah-kaidah kesempurnaannya dan kekurangannya, bagaimana cara mengembalikan bashiroh yang benar dan lain-lain. Semua itu termasuk bagian dari ilmu tasawuf yang masing-masing memiliki spesifikasi dan spesialisasi sendiri-sendiri. Dalam hal ini Rosul mengajarkan sebuah doa yang berbunnyi:

يا مقلب القلوب ثبٌت قلبي على د ينك (الحد يث)

Artinya :
“Wahai Dzat yang Maha membolak-balikkan hati tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu”.
Kalau diperhatikan maka doa Nabi tersebut mngisaratkan pentingnya memelihara hati agar tetap sehat (qolbun salim). Sebab kondisi hati atau qolb akan menentukan manusia itu sejahtera atau tidak di dunia dan akherat. Maka pengetahuan yang utuh tentang hati perlu dimiliki. Kemudian penyempurnaan dan rehabilitasinya juga butuh ilmu dan juga seorang mursyid untuk mengabarkan kondisi hatinya. Disinilah letak kemutlakan ilmu untuk membendung dan menghentikan penyakit (hawwa,1995: 61) dan ketekunan dalam perjalan spiritual dengan dzikir yang banyak dan kontinu.

Termimologi ‘Aql.
Kata ‘aql tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, yaitu sebagai isim atau kata benda, yang ada hanya bentuk fi’il madhi dan fi’il mudlori’ yang asal maknanya adalah ikatan, tambatan, benteng dan penghalang.
Dalam istilah lain secara garis besar ada dua jenis akal. Yakni ‘aql taklifi dan ‘aql syar’i. Akal taklifi adalah akal yang dimiliki oleh semua manusia yang sudah baligh dan selama ia tidak gila. ‘Aql ini tingkatan ‘aql terrendah yang dimiliki seorang mukallaf. Dengan riyadhoh yang banyak dan kontinu (hawwa,1995: 63) maka ‘aql taklifi akan dapat mengenal Allah, paham secara total kepada Allah yang diistilahkan dengan ‘aql syar’i oleh Sa’id. Manifestasi dari ‘aql syar’i dikatakan sebagai pengekangan manusia terhadap nafsunya atas perintah Allah, sebagaimana manusia akan paham dan kenal Allah (ma’rifatullah), sementara ‘aql terbelenggu oleh nafs amarah bissu’. Tanpa ma’rifatullah seluruh aktifitas kehidupan dan amal dalam islam menjadi tidak memiliki nilai hakiki (Hawwa, 2001: 1). Maka keterbelengguan ‘aql oleh nafs amarah bissu’ memerlukan cara tersendiri untuk menguraikan, melepaskan, membebaskan dan memerdekakannya.
Secara garis besar ‘aql memiliki peran yang signifikan dalam proses pemahaman terhadap ilmu-ilmu keislaman, keimanan, keihsanan dan ketauhidan, maka konsekwensi logisnya adalah ‘aql mutlak memerlukan nutrisi ilahiyah agar secara sadar dan arif dapat menuju maqom ‘aql syar’i. Tanpa itu, perjalanan spiritual dikatakan oleh banyak tokoh sufi sebagai hal yang mustahil dan rawan kalau tidak dikatakan berbahaya karena banyak tipu muslihat tingkat tinggi dari iblis dan sekutunya (jin dan manusia).

Terminologi Nafs
Secara etimologis, kata nafs memiliki beberapa arti seperti jiwa, darah, badan, tubuh dan orang (Munawir, p.1545).
Menurut Quraish Shihab dalam “wawasan al-Qur’an”nya bahwa kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai beberapa makna kadang diartikan sebagai totalitas manusia seperti antara lain maksud surat al-Maidah ayat 32 dan juga kadang diartikan kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku seperti maksud surat ar-Ro’d ayat 11.
Firman Allah swt. :

ونــفـس وما ســوٌها فــالهمـــهافـــجورهاوتــــقوها (الشمس:7 ــ 8)

Artinya:
“Demi nafs dan penyempurnaan penciptaannya. (Allah) telah mengilhamkan kepadanya kekejian dan ketakwaan”. (QS. asy-Syams; 7-8).

Karena hal ini merupakan satu sisi dari manusia maka al-Qur’an menganjurkan untuk memberi perhatian yang besar pada nafs. Dalam beberapa literatur tasawuf di jelaskan bahwa nafs memiliki delapan kata ganti, dari kecenderungan yang paling dekat pada tindakan buruk sampai ketingkat kedekatan kepada kelembutan Ilahi. Kata ganti itu ialah:
a. Nasf amarah bissu’; Yaitu kekuatan pendorong naluri sejalan dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan (lihat: QS. Yusuf: 53).
b. Nafs lawwamah; yaikni nafs yang telah memiliki rasa insaf dan menyesal setelah melakukan pelanggaran. Ia tidak berani melakukan pelanggaran secara terang-terangan dan tidak pula mencari-cari secara gelap untuk melakukan itu karena ia telah menyadari akibat-akibat dari perbuatannya, namun ia belum mampu mengekangnya (lihat: QS. al-Qiyamah: 2)
c. Nafs musawwalah; yaitu nafs yang telah mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil, namun ia masih terjerembab pada yang bathil dan belum kuasa untuk mentas darinya. (lihat: QS. Yusuf: 38).
d. Nafs mulhamah; yaitu nafs yang telah memperoleh ilham dari Allah swt., dikaruniai ilmu pengetahuan. Ia telah dihiasi akhlak mahmudah dan disana ada kesabaran, ketabahan dan keuletan (lihat: QS. asy-Syams: 7-10).
e. Nafs muthma’innah; yaitu nafs yang telah mendapatkan tuntunan dan terpelihara dengan baik, sehingga jiwa menjadi tenteram, bersikap baik, dapat menolak perbuatan kaji serta dapat menjauhkan diri dari godaan manusia, jin dan setan maupun iblis. Dan dapat mendorong melakukan kebaikan dan keshalehan. Kondisi ini dipahami dari surat ar’Ro’d: 28.
f. Nafs rodiyah; adalah nafs yang ridlo kepada Allah swt. yang juga punya peran penting dalam mewujudkan jiwa yang tenteram. (QS. al-Ma’idah: 119).
g. Nafs Mardiyah; adalah nafs yang telah diridloi oleh Allah dan keridloan itu tampak pada anugerah yang diberikan-Nya berupa senantiasa dapat dengan tulus melakukan dzikir, mendapat kemuliaan serta akhlak yang agung. (QS. al-Fahr: 27-30).
h. Nafs kamilah; nafs ini telah sempurna bentuk dan dasarnya dan dianggap cukup untuk memberikan irsyad (sebagai mursyid) yang menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah swt. Orang yang mencapai taraf ini biasa disebut insan kamil dan ia dapat merasakan getaran-getaran kedekatannya dengan Dzat yang Maha Suci.
Oleh sebagian ahli tasawuf nafs diartikan ruh yang telah menyatu dengan jasad. Penyatuan ruh dengan jasad itu dianggap memunculkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh. Diantaranya adalah seperti yang dijelaskan oleh Sa’id Hawwa bahwa ruh butuh akan kekekalan secara nyata (konkret) dan secara ma’nawi (abstrak).
Untuk itulah titik tolak dari kesehatan jiwa atau kepuasan diri sebenarnya adalah mengendalikan hawa nafsu sehingga ia tunduk pada Ilaahnya. Tokoh sufi Ibnu ‘Atho’illah mengatakan :
“Sumber dari maksiat, nafsu birahi dan kelalaian adalah kesenangan pada hawa nafsu. Sedangkan sumber dari ketaatan, keterjagaan dan pengekangan diri dari hal yang hina adalah membenci hawa nafsu. Bagimu berteman dengan orang yang bodoh yang membenci hawa nafsu lebih baik dari pada berteman dengan orang pandai yang menyenangi hawa nafsu. Ilmu macam apakah yang dimiliki oleh orang yang alim yang menyukai hawa nafsunya dan kebodohan macam apakah yang dimiliki oleh orang bodoh yang membenci hawa nafsu”.

Wirid
Wiridan harian seyogyanya diatur oleh seorang muslim dengan suatu target minimum yang wajib dia laksanakan. Kemudian jika mendapatkan waktu senggang dan kosong hendaklah ia menambah target atau jumlah wiridan tersebut, dan jika dihantui rasa malas atau rasa bosan hendaklah ia melakukan siasat atau kiat tertentu (Hawwa,1995: 130). Lalu disaat nafsunya keluar sebagai pemenang sehingga meliputi rasa malas karena beberapa faktor -kalau bisa dan memungkinkan- seyogyanya mengganti wiridan itu dalam bentuk lain. Kalau tidak bisa dan tidak memungkinkan, maka ia harus memulai dan mengulangi langkah pertama dengan melakukan wiridan sebagaimana yang telah diatur semula.
Dibawah ini adalah beberapa hadits yang menerangkan tentang wiridan-wiridan harian yang artinya:
“berkata Syakik; suatu ketika Abdullah sakit, kami menjenguknya. Dia menangis lalu ditegur, maka katanya, aku menangis bukan karena sakit tapi karena aku pernah mendengar Rosulullah saw. bersabda (penyakit adalah denda), aku menangis karena penyakit itu menyerangku pada saat aku lemah dan tidak menyerangku ketika aku kuat (bersungguh-sungguh). Karena pahala akan di catat bagi seseorang apabila ia telah sakit dan tidak ditulis sebelum ia sakit sehingga penyakit itu dicegah darinya”.
Hadits ini menerangkan bahwa seorang muslim yang ‘amil memiliki wiridan-wiridan harian khusus. Oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud menangis karena sakitnya bukan pada kondisi amal hariannya tinggi.
Rosulullah bersabda: “sesungguhnya ada kesalahan dalam kalbuku sehingga aku beristighfar sebanyak seratus kali dalam sehari”. Riwayat Muslim. Kebiasaan yang melekat pada rosulullah dalam melakukan bangun malam dan amalan-amalan tertentu menjadi indikator bahwa beliau memiliki wiridan-wiridan harian. Itulah sebabnya wiridan-wiridan harian tidak semestinya dilalaikan dalam kehidupan seorang muslim sebab ia merupakan bekal dan santapan sehari-hari (Hawwa,1997: 131). Batasan yang wajar dalam pembacaan al-Qur’an adalah segi tertentu, karena Rosulullah saw. bersabda mengenai hal ini dalam sebuah hadis shohih yang diriwayatkan oleh Amr bin Ash: “bacalah al-Qur’an (sampai hatam) dalam setiap satu bulan”. (lihat dialog Ibn Amr bin Ash dalam HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i).
Sa’id menjelaskan beberapa hal yang juga tidak boleh terlewatkan adalah istighfar sehari-hari, sholawat atas rosul setiap hari, tahlil, dan tasbih harian, memperhatikan hari-hari tertentu yang disunahkan untuk melakukan amalan-amalan khusus, seperti pembacaan sholawat kepada Nabi dan pembacaan surah al-kahfi pada hari dan malam jum’at, memperhatikan wiridan dan dzikir tertentu yang berhubungan erat dengan waktu atau situasi tertentu atau situasi yang cocok dan memperhatikan hari-hari yang disunahkan berpuasa. Hal terahir yang harus diatur oleh seorang muslim adalah ilmu, sebeb setiap amalan harus disertai dengan ilmu.
Sa’id memberikan beberapa contoh wirid harian yang antara lain sebagai berikut:
Sholat lima waktu dengan berjama’ah, sholat-sholat sunnah rowatib serta dzikir dan wiridannya, sholat tahajjud dan sholat dluha.
Membaca istighfar tidak kurang dari seratus kali setiap hari.
Membaca laailaaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syai’in qodir tidak kurang dari seratus kali dalam setiap hari.
Pembacaan sholawat kepada Rosullullah saw. tidak kurang dari seratus kali dalam sehari.
Membaca surat al-Ikhlash tiga kali dalam sehari.
Membaca dari sebagian al-Qur’an.
Membaca doa-doa harian, dari doa bangun tidur hingga doa mau tidur lagi.
Memperbanyak dzikir yang disunahkan seperti istighfar, sholawat, tasbih, tahlil, tahmid dan dzikir-dzkir serupa yang disunahkan secara khusus.
Sa’id kemudian menegaskan untuk melakukan wirid dan dzikir yang mingguan untuk menyempurnakan wirid dan dzikir yang harian. Menentukan jadwal dzikir bulanan untuk menyempurnakan dzikir yang mingguan dan menjadwalkan program tahunan untuk menyempurnakan dzikir yang bulanan dan demikian seumur hidup dan kontinu.

Kesimpulan
Sa’id adalah tokoh spiritual terkenal dijamannya dan belajar dari beberapa syeikh. Dia tidak mau terikat oleh tarekat apapun kendati diijinkan syeikhnya untuk mengajarkan suluk kepada orang lain (Hawwa,1995: 18). Sebab perbedaan tarekat biasanya hanya dalam wirid dan dzikirya saja (al-Khotib, 2003: 160) dan perbedaan ini bukan pada subtansinya. Tidak adanya konsep tarekat yang jelas mengindikasikan kalau Sa’id bertasawuf tanpa terakat atau semakna dengan neo sufisme (reformed sufism) yang akan lebih relevan dengan kehidupan masyarkat modern sejauh diterapkan secara konsisten (Anwar, 2002:16) yang menekankan aktivisme intelektual maupun sosial. Adanya adagium “one who has no master, satan is his master”, yang mengesankan bahwa setiap orang wajib masuk tarekat. Di sini penulis akan tunjukkan tokoh-tokoh besar yang tidak kalah sufistiknya dan nyata-nyata tidak berafiliasi dengan tarekat tertentu, seperti Muhammad Abduh, Abdul Halim Mahmud, Imam Al-Ghozali dan dari dalam negri seperti HAMKA dll.
Berbicara tentang tasawuf berarti membicarakan suatu hal yang agak rumit, karena banyaknya persoalan atau permasalahan yang perlu di bahasnya. Namun dari kajian sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa menurut sa’id hawa tasawuf bukanlan ajaran baru yang dibawa oleh ulama-ulama khalaf tapi merupakan tradisi kenabian yang terpancar dari aktifitas lahir dan bathin nabi suci Muhammad saw. Yang baru dalam hal ini adalah penggunaan nama tasawuf. Mengenai substansi ajarannya sudah ada sejak datangnya Rosul mulia itu.
Lebih konkritnya adalah bahwa tasawuf merupakan kerja merasakan aqidah dan upaya internalisasi sifat-sifat ilahiyah ke dalam diri atau pengejawantahan perintah Allah secara total dengan meneladani sifat-sifat rosul yang amaliyah maupun haliyah sebagai sumber cahaya primordial (Schimmel, 1998:179). Tasawuf bukan membuat ketetapan-ketetapan baru yang berdasarkan pada intuisi yang subyektif.
Hati atau Qolb sebagai pangkal tolak pendidikan rohani atau perjalanan spiritual menuju Allah adalah tempat tanzil wahyu dan ilham tempat pemahaman, pusat ingatan, taqwa dan akal budi (Arrozi, 2002:123). Bagi Sa’id, dzikir -terutama lafadz Allah- merupakan nutrisi yang sangat baik bagi pengembaliah ruh kepada kesucian.
Dia mengklasifikasi dzikir menjadi dziikir harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan. Jumlah dan caranya sama dengan apa yang pernah dilakukan rosul, seperti menghiduppkan malam, memperhatikan waktu-waktu yang mustajabah dan dengan etika nabawiyah.




DAFTAR PUSTAKA:

Adz-Dzaqi, Hamdani Bakran. 2001. Psikoterapi dan Konseling Islam. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Anwar,C. Ramli Bihar. 2002. Bertasawuf tanpa Tarekat, Aura Tasawuf Positif. Jakarta: Hikmah.
An-Naisaburi, Abdul Qosim Karim Hawazinal-Qusyairi. 2002. Risalah Qusyairiyah. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Ghozali, Imam. 2002. Mutiara Ihya Ulumuddin. Bandung: Mizan.
Al-Khotib, As’ad. 2003. Allahu Akbar, Etos Jihad Kaum Sufi. Jakarta: Serambi.
Al-Math, M.Faiz. 1996. Puncak Ruhani Kaum Sufi. Surabaya: Pustaka Progresif.
Arrozi, Fakruddin. 2002. Ruh dan Jiwa tinjauan filosofis dalam perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: LSIK
Attirmizi, Yooga Adiana dan M. Yajid Kalam. 2002. Kamus Sufi. Bandung: Pustaka Kasidah Cinta.
Bakker, Anton. 1986. Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia.
Haeri, Syiekh Faidlullah. 2002. Belajar Mudah Tasawuf. Jakarta: Lentera.
HAMKA. 1993. Tasawuf, Perkembangan dan Permuniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Poespoprodjo, W dan T. Gilarso. 1999. Logika ilmu menalar. Bandung: Pustaka Grafika.
Najati, M.Usman. 2002. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. Bandung: Pustaka Hidayah.
Nazir, Muhammad. 1985. Metode penelitian, Ghallia.
Nicholson, Reinold A. 1987. Tasawuf Menguak Cinta Ilahiyah. Jakarta: Rajawali.
Schimmel, Annemarie. 1998. Dan Muhammad utusan Allah. Bandung: Mizan.
Syukur, Amin dan Masyruddin (ed). 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hawwa, Sa’id. 1995. Jalan Ruhani. Bandung: Mizan.
----------------. 1997. Tarbiyatuna ar-Ruhiyah. Mesir: Daar as-Salam.
----------------. 2000. Membina Angkatan Mujahid. Solo: Intermedia.
----------------. 2001. Al-Islam I. Jakarta: al-I’tishom cahaya Ummat.
----------------. 2001. Rambu-Rambu Jalan Ruhani. Jakarta: Robbani.
----------------. 2002. Allah Jalla jalaalah. Jakarta: Gema Insani Press.
----------------. 2002. Mensucikan Jiwa. Jakarta: Robbani.
----------------. 2002. Perjalanan Ruhani Menuju Allah I. Solo: Intermedia.
Valiuddin, Mir. 1007. Zikir dan Kontemplasi dan Pemikiran, (akar, ideologi dan penyebarannya). Jakarta: Al-I’tishom.

Selasa, 01 Februari 2011

Ibn Rusyd dan Kemajuan Barat

Dr. Syamsuddin Arif

Kaum santri mengenalnya sebagai ahli fikih. Cendekiawan Arab modern mengaguminya sebagai ahli filsafat. Sejarawan Eropa mengenangnya sebagai ‘jembatan pengetahuan’ antara Timur dan Barat, penghubung antara Islam dan Kristen dom. Dialah Ibn Rusyd alias Averroes, tokoh yang belakangan disebut-sebut sebagai perintis gerakan pencerahan di Barat, idola baru kaum liberal dewasa ini.

Beberapa abad terkubur dalam limbo sejarah, sosok Ibn Rusyd kini seolah-olah hidup kembali. Adalah Ernest Renan yang pertama kali mengungkit semula ketokohan Ibn Rusyd lewat karyanya: Averroèsetl’Averroïsme. Menurut intelektual Perancis berdarah Yahudi itu, Ibn Rusyd adalah peletak batu pertama rasionalisme Eropa. Dengan fasih diceritakannya riwayat hidup Ibn Rusyd serta nasib akhir warisan pemikirannya di dunia Islam dan di Eropa. “Suatu hari, Ibnu Thufayl memanggilku dan berkata: ‘Hari ini aku mendengar Amirul