DIRGAHAYU PROKLAMASI REPUBLIK INDONESIA KE 69 (1945-2014): HARI ESOK LEBIH BAIK DARI HARI INI DAN KEMARIN ALLAHU AKBAR!!! Program Studi Perbandingan Agama (Ushuluddin) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA: Kolom Kaprodi

Translate/Terjemah/ترجمة

Kamis, 03 Februari 2011

Kolom Kaprodi

KALIMAH SAWA’
Paradigma Tauhid-Qurani Versus Pluralisme-Sekular


قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ(64)
Wahai Ahlul Kitab, datanglah kepada kata yang sama, antara kami dan kalian, yaitu hendaklah kita tidak menyembah kecuali Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, dan hendaklah jangan menjadikan sebagian kita atas sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Maka bila mereka berpaling, katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang beragama Islam (Muslimun). (Ali Imran: 64).

Ayat di atas sangat menarik untuk dicermati oleh para penegak Aqidah dan Syari’ah Islam di bumi yang kini dipenuhi oleh ideologi sekularisme. Suatu ideologi yang membawa manusia kepada “abai” terhadap agama, karena kehidupan yang riil, mkehidupan yang hakiki –menurut mereka-- adalah kehidupan dunia ini. Itulah, agaknya, yang menyebabkan istilah ini diterjemahkan dalam bahasa Arab menjadi “dunyawiyyah” atau “al-laadiiniyyah”, yakni kehidupan yang berorientasi kepada keduniaan semata dan tidak memperdulikan ajaran agama sedikitpun. (M. Thalib, 2004)

Ayat ini sering dimanfaat oleh sebagian kaum Muslim yang terjangkiti ideologi sekularisme di atas, untuk mengatakan bahwa Al-Quran mengakui kesetaraan agama, sehingga manusia bebas memilih agama apa saja, karena semua akan sampai juga kepada Tuhan. Ayat tersebut dimaknai ajakan Nabi Muhammad SAW kepada Ahlul Kitab untuk mencari titiktemu agama-agama dengan mengakui kebenaran masing-masing agama. Menurut penafsiran mereka ayat ini menunjukan bahwa Al-Quran mengakui bahwa hakekat keberagamaan adalah sama. Adanya Islam, Kristen, Hindu dan Budha hanya kulit atau bungkusnya saja. (Nurcholish Madjid, 2002)
Pemikiran ini kemudian terus berkembang menjadi paham pluralisme agama. Yakni melihat semua agama adalah hakekatnya sama, yaitu sama-sama mengakui keberadaan Tuhan, di mana manusia harus mengabdikan diri kepada-Nya. Perbedaan agama hanyalah merupakan perbedaan jalan yang dilalui menuju tujuan yang satu. Yaitu Yang Ilahi, Yang Maha Kuasa dan sebagainya.
Secara sekilas, paham pluralisme ini sepertinya baik, karena membawa seseorang untuk tidak terlalu mempersoalkan perbedaan agama, sehingga lahirlah persaudaraan antara pemeluk agama. Namun, terdapat implikasi negatif dari pandangan hidup pluralisme tersebut, yaitu membawa orang menjadi abai terhadap agama, karena memandang agama hanya dari sudut esensi dan substansinya, dan meninggalkan syari’ah agama, karena di anggap sebagai sumber perpecahan kemanusiaan. Seolah-olah dengan menjalankan syari’ah yang berbeda antara satu agama dengan lainnya akan menimbulkan bencana kemanusiaan. Paham pluralisme ini justru membawa manusia untuk tidak siap berbeda dengan yang lain. Akhirnya terjadikan pencampuradukan keyakinan dan pengamalan agama dengan dalih titik temu antar agama.
Dalam realitas kehidupan dapat ditemui bentuk pencampuradukan aqidah dan ibadah agama, seperti Natalan Bersama, Doa Bersama, dan sejenisnya.
Islam dengan sumbernya Al-Quran dan al-Sunnah memberikan pedoman yang tegas, jelas, dan tuntas mengenai persoalan agama dan kemanusiaan. Dalam masalah agama tidak ada pencampuradukan, yang ada justru ketegasan dan kejelasan antara yang haq dan batil. Namun dalam urusan kemanusiaan secara umum Islam menganjurkan untuk bersaudara, saling menghormati dan saling menenggang satu sama lain.
Ayat di atas justru merupakan ajakan yang tegas dari Al-Quran kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) waktu itu menuju kalimah sawa’ (suatu kata yang sama atau titik temu), yaitu untuk kembali kepada ajaran yang benar, ajaran tauhid, dengan cara beriman kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak lain adalah memeluk agama Islam, sebagai satu-satu agama Allah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah. Ayat di atas juga berisi larangan untuk menyekutukan Allah, larangan mengangkat sesama manusia sebagai Tuhan, sebagaimana banyak dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Oleh karena banyak di antara kaum Ahlul Kitab yang berpaling dari ajakan Rasulullah SAW tersebut, maka Allah memerintahkan kepada Muhammad untuk mengatakan: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang beragama Islam (Muslimun)”.
Maka terminologi “Kalimah Sawa’” adalah merupakan paradigma Tauhid-Qurani yang mematahkan paham pluralisme-sekular, yang memandang agama sama saja, tidak penting membicarakan agama di ruang publik, dan diakhiri dengan abai terhadap agama, sebagaimana polah-tingkah Ahlul Kitab.
Kini, polah tingkah Ahlul Kitab itu juga telah menjangkiti sebagian umat Islam, misalnya menerima ajaran agama apabila sesuai dengan tuntutan hawa nafsunya, dan menolah sebagian yang lain yang dipandang tidak sesuai dengan tuntutan hawa nafsunya. Akhirnya muncullah pemikiran Liberalisme Islam, yang berkedokkan pembaharuan pemikiran Islam, tetapi ujung-ujungnya adalah upaya pembebasan diri dari ajaran Islam (melepaskan diri dari ikatan dan lindungan agama Islam).
Prodi Ushuluddin (bukan uculuddin) bermaksud memberikan pencerahan pemikiran secara Islami, dengan mengkaji segala fenomena keagamaan dan keberagamaan umat manusia, untuk dikembalikan kepada orisinalitas Islam yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana diperjuangkan oleh gerakan Muhammadiyah. (syamsul hidayat)

Tidak ada komentar: