DIRGAHAYU PROKLAMASI REPUBLIK INDONESIA KE 69 (1945-2014): HARI ESOK LEBIH BAIK DARI HARI INI DAN KEMARIN ALLAHU AKBAR!!! Program Studi Perbandingan Agama (Ushuluddin) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA: Januari 2011

Translate/Terjemah/ترجمة

Minggu, 23 Januari 2011

MUHAMMADIYAH RESPONSIF TERHADAP PLURALITAS BUDAYA

Dr. H. Syamsul Hidayat, M. Ag., (46 tahun) mengatakan, sebagai gerakan Tajdid fi al-Islam, Muhammadiyah mengimplementasikan setiap gerakannya dengan metode dan strategi pembaharuan. Pembaharuan yang dilakukan memiliki dua makna. 1. al-I’adah (kembali kepada kemurnian Islam dalm masalah agama yang bersifat baku, yakni masalah aqidah, ibadah mahdhah, sebagian muamalah dan akhlak).2. al-ihya’ (menghidupkan dan mendinamisasikan pemikiran dan pengalaman agama pada masalah-masalah yang bersifat dinamis, yakni sebagian besar masalah muamalah duniawiyah seperti politik, ekonomi, budaya dan seterusnya). Pandangan diatas berimplikasi pada keterbukaan dan sikap Muhammadiyah yang cair terhadap fenomena perubahan dan pluralitas budaya beserta nilai-nilai yang dikandungnya. Corak gerakan Muhammadiyah terlihat ramah dan cerdas dalam mensikapi fenomena pluralitas dan perubahan nilai sosial budaya sekaligus memberikan arah perubahan dan pluralitas yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam (tetap berpijak pada al qur’an dan sunnah). Artinya perubahan dan budaya yang dinilai baik sejalan dengan ajaran Islam, diterima. Perubahan dan budaya yang buruk, tidak sejalan dengan ajaran agama ditolak.
Hal tersebut disampaikan oleh dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS ) saat mempresentasikan hasil penelitian disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, bertempat di ruang promosi doktor kampus setempat, Jum’at, 21 Januari 2011. Disertasi berjudul “Pemikiran Muhammdiyah Tentang Pluralitas Budaya”. dipertahankan dihadapan Tim Penguji antar lain; Prof. Dr.H. Syamsul Anwar, M.A., Prof. Dr. H. Sjafri Sairin, M.A., Dr.H. Haedar Nashir, M.Si., Noorhaidi, M. Phil, Ph. D., Prof. Dr. H. Burhanudin Daya (promotor merangkap penguji), Prof. Dr. H. Irwan Abdullah (promotor merangkap penguji). Sidang Promosi dipimpin oleh Prof.Dr.H. Musa Asy”arie, dengan sekretaris Dr. H. Sukamta.

Menurut promovendus, penelitian disertasinya menganalisis pemikiran dan gerakan Muhammadiyah, khususnya menyangkut relasi agama dan Kebudayaan. Pihaknya melakukan pemahaman terhadap realitas historis, konsistensi Muhammadiyah dalam mengejawantahkan pemikiran ideologis dan metodologis Islam tentang pluralitas budaya di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan kualitatif metode Interpretasi. Sementara yang diinterpretasikan adalah teks-teks resmi organisasi Mmuhammadiyah dan karya-karya pemikir Muhammadiyah, serta para pemimpin Muhammadiyah dari masa ke masa.

Hasil penelitian putra kelahiran Jember ini menunjukkan, prinsip purifikasi dan dinamisasi yang dipegang Muhammadiyah sudah melembaga dalam organisasi ini, menjadi sebuah ideologi dan theologi yang dikenal dengan sebutan “tajdid”. Respeknya pemikiran Muhammadiyah terhadap pluralitas budaya telah mengantarkan organisasi ini justru menjadi kuat jatidirinya. Dengan ideologi dan theologi tajdid pula, menjadikan Muhammadiyah mudah melakukan interaksi dengan segala pihak. Muhammadiyah, kata Syamsul Hidayat, dapat tampil dalam banyak wajah dalam arti positif. Secara metodelogispun pemikiran keagamaan mmuhammadiyah yang relatif terbuka terhadap pluralitas budaya ternyata bisa menampung siapapun untuk berkhidmah di dalam Muhammadiyah demi tegaknya din al-Islam dan kemuliaan umat

Ketika kritik kemandegan menderanya, Muhammadiyah segera merekontruksi metodologi pemikiran Islamnya dengan mengunakan trilogi pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dengan segala pro-kontranya. Pendekatan trilogi ini mengadopsi pemikiran Abid al-Jabiri, yang oleh Mmuhammadiyah diterima dengan beberapa modifikasi. Dengan nalar Bayani ternyata mengantarkan Muhammadyah mampu mengembangkan gerakan purifikasi dan paham puritanisme, sehingga siap untuk melakukan Islamisasi berbagai lini kehidupan. Nalar Burhani menjadikan gerakan Muhammadiyah mampu mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi yang berpijak pada nilai-nilai al Qur’an dan hadis. Nalar Irfani telah menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan moral spiritual yang berkembang pesat (bukan spiritual simbolik, seperti gerakan dzikir jama’ah, bentuk-bentuk tarekatisme dan sebagainya). Jadi spiritualisme Mmuhammadiyah bersifat aktif dengan mengembangkan berbagai amal usaha dan menumbuhkan sikap empati kepada semua potensi umat yang pluralistik

Syamsul Hidayat juga menjelaskan, Muhammadiyah memandang pluralitas budaya sebagai keniscayaan sunatullah. Artinya budaya dan peradaban adalah rangkaian pandangan hidup, nilai, norma perilaku dan karya manusia yang memiliki keyakinan, kepercayaaan dan agama. Walaupun agama dan budaya merupakan dua sisi yang berbeda, namun sesungguhnya keduanya memiliki relasi yang sangat dekat.

Menurut promovendus konsekuensi pemikiran muhammadiyah tentang gerakan agama dan pluralitas budaya ini adalah : Dakwah Islam sebagai strategi kebudayaan Muhammadiyah memiliki makna yang sangat luas seluas seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, tafsir dakwah Muhammadiyah dituangkan dalam bentuk gerakan dan pengkajian dan pemikiran Islam, gerakan tabligh dan penyiaran Islam, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan ekonomi umat, kesehatan, santunan sosial kaum dhuafa dan yatim piatu, seni dan budaya, dan sebagainya Yang kesemuanya itu merupakan wujud kongkret dari kebudayaan Muhammadiyah, sebagaiman dituangkan dalam pedoman hidup Islami. Dengan luasnya tafsir dakwah tersebut, dakwah Muhammadiyah menyerah dan memasuki seluruh relung kehidupan masyarakat.

   Oleh tim penguji, Dr. Syamsul Hidayat, M.Ag dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, dan dirinya merupakan Doktor ke-270 yang telah berhasil diluluskan Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga (www.uin-suka.ac.id)

Minggu, 16 Januari 2011

Arti Mengislamkan (1)

Muslim tak datang untuk melakukan invasi apalagi kolonialisasi. 
Eksploitasi bukan karakter Muslim dan peradaban Islam

Oleh: Hamid Fahmi Zarkasyi*

TABLIGH (mendakwahkan) risalah adalah wajib bagi Nabi. Karena itu Nabi mengirim surat keapda raja-raja mengajak mereka masuk Islam. Salah satu suratnya dikirim kepada Ebrewez, kaisar Persia. Pimpinan negara adikuasa dan cucu mendiang kaisar Khosru I, yang dinobatkan jadi Kaisar baru pada tahun 590 M. Itupun gara-gara ayahnya kaisar Murmuza IV terbunuh.
Dalam bukunya Tarikh al-Muluk wa al-Umam, al-Tabari menceritakan bahwa Ebrewez tergolong raja Persia yang paling kuat. Jajahan dan kekuasaannya paling luas. Prestasinya tak tertandingi oleh kaisar sebelumnya. Karena itulah ia digelari Ebrewez yang berarti si Perkasa. Dalam bahasa Arab disebut al-Mudhaffar. Karena itu wajar jika ia dikenal suka menunjukkan kemewahan dan kebesarannya, menimbun harta kekayaan dan perhiasan. Ketika ia memindahkan singgasananya dari bangunan lama ke bangunan baru tahun 607-608 M harta yang dipindahkan terhitung sebanyak 468 juta gantang emas. Pada tahun ke 13 dari kekuasaannya kekayaannya mencapai 880 juta gantang emas.
Surat Nabi yang singkat itu diantaranya berbunyi “Masuklah Islam agar anda selamat dan jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusi”.

Sabtu, 15 Januari 2011

Makalah


IMPLEMENTASI SYARIAT ISLAM SEBAGAI SOLUSI
PROBLEM KEBANGSAAN
(Pokok-pokok Pikiran Perspektif Muhammadiyah)

Oleh: Syamsul Hidayat
Fakultas Agama Islam Universitas M uhammadiyah Surakarta


Pendahuluan
Dengan mengangkat judul seperti di atas, tulisan ini tidak ingin ikut-ikut gerakan-gerakan yang seolah-olah menyuarakan penegakan syariat atau khilafah, tetapi lebih banyak retorika dan tidak disertai konsep serta langkah-langkah operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh umat Islam, juga masyarakat pada umumnya. Jadi alih-alih akan mendapatkan dukungan dari masyarakat luas, dari sesama muslim sendiri masih menjadi  pro-kontra.
Dalam kenyataan di masyarakat, masih banyak umat Islam yang belum memahami secara tepat apa itu syariat Islam, sehingga justru banyak di kalangan umat Islam yang takut dan menolak syariat Islam diterapkan di negeri tercinta ini. Bahkan ketakutan itu bukan dari kalangan awam dari umat ini, tetapi juga dari para elit, cendekiawan, tokoh politik dan para pejabat negara yang mengaku sebagai Muslimin. Apalagi kalangan di luar umat Islam.

Kamis, 13 Januari 2011

Renungan


Masuk Surga Bukan Karena Amal?
On Jan 09, 2011 04:29 am, by Nashruddin Syarief

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ
“Tepatlah kalian, mendekatlah, dan bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” Para shahabat bertanya: “Termasuk juga anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”


Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan dalam kitab berikut ini:
  1. Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal no. 6463, 6464, 6467.
  2. Shahih Muslim kitab shifat al-qiyamah wal-jannah wan-nar bab lan yadkhula ahadun al-jannah bi ‘amalihi no. 7289-7302.
  3. Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab at-tawaqqi ‘alal-’amal no. 4201.
  4. Musnad Ahmad bab hadits Abu Hurairah no. 8233, 9830, 10011, 14944; bab hadits ‘Aisyah no. 24985, 26386
Matan Hadits
Dalam riwayat al-Bukhari no. 6463, tuntunan Nabi saw terkait hadits di atas ada enam, yaitu:
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا
“Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian.” Mereka bertanya: “Tidak pula anda wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku. Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai.”
Dalam riwayat al-Bukhari yang satunya lagi, no. 6464, Nabi saw di akhir pesannya menyatakan:
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Tepatlah kalian, mendekatlah, dan ketahuilah bahwasanya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah itu adalah yang paling sering diamalkan walaupun sedikit.
Sementara itu, dalam riwayat Muslim no. 7299, tidak hanya disebut tidak akan masuk surga saja, melainkan ditegaskan juga tidak akan selamat dari neraka:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah swt.
Syarah Mufradat
Saddidu, asal katanya sadad; ketepatan, sesuatu yang tepat. Maknanya menurut Ibn Hajar, shawab; benar. Artinya, beramallah dengan tepat, benar, mengikuti sunnah dan penuh keikhlasan.
Qaribu yang bermakna ‘mendekatlah’ maknanya ada dua; pertama, jangan menjauhi amal seluruhnya ketika tidak mampu, dan kedua, jangan berlebihan dalam beramal sehingga merasa kelelahan dan bosan. Itu berarti ambillah pertengahan dalam beramal. Ketika malas tiba, bertahan dengan tidak meninggalkan amal seluruhnya, beramallah sedekat-dekatnya, tidak mampu 100% (sadad) beramallah 90% (qarib), dan ketika semangat tiba, beramal dengan tidak berlebihan karena akan menyebabkan kelelahan dan kejenuhan.
Ughdu artinya berpergianlah di waktu pagi, ruhu artinya berpergianlah di waktu sore, dan ad-duljah artinya berpergian di waktu malam. Kata ad-duljah disertai dengan kata syai` (syai` minad-duljah; sedikit/sesaat di waktu malam) karena memang berpergian di waktu malam cukup sulit. Menurut Ibn Hajar, ini seolah-olah isyarat agar shaum di sepanjang hari dari sejak pagi sampai sore, dan shalat tahajjud di sebagian malam. Walaupun, menurutnya, bisa juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya. Ibadah dalam hal ini diibaratkan dengan berpergian/perjalanan karena memang seorang ‘abid (yang beribadah) itu ibarat seseorang yang sedang berpergian dan menempuh perjalanan menuju surga.
Al-qashda maknanya pertengahan. Dijelaskan dalam riwayat lain sebagai amal yang rutin dikerjakan (dawam) walaupun sedikit-sedikit.
Taghammada diambil dari kata ghimd yang berarti sarung pedang. Taghammada berarti menyarungkan, atau dengan kata lain menutup (satr). Jika dilekatkan dengan kata rahmat dan ampunan, berarti menganugerahkan sepenuhnya (semua penjelasan dalam syarah mufradat ini disadur dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).
Syarah Ijmali
Muncul diskusi di kalangan para ulama terkait hadits di atas; benarkah masuk surga itu bukan karena amal? Jika demikian apa gunanya amal kita? Bagaimana pula kaitannya dengan firman-firman Allah swt berikut:
“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu amalkan”. (QS. An-Nahl [16] : 32)
Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7] : 43. Ayat semisal terdapat juga dalam QS. Az-Zukhruf [43] : 72)
Satu hal saja yang harus dicatat, semua ulama hadits tidak ada yang menyatakan bahwa hadits di atas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut. Semuanya menempuh metode jam’ (menyatukan, mengompromikan) karena memang hadits di atas jelas keshahihannya. Sebuah pertanda juga bahwa hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan dengan al-Qur`an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin Nabi saw menentang al-Qur`an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Imam Ibn Bathal, sebagaimana dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan. Ayat-ayat yang menjelaskan masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah menempati tingkatan-tingkatannya itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu mutlak hanya berdasarkan rahmat Allah swt. Jadi, dengan rahmat Allah swt, seseorang ditentukan masuk surga dan tidaknya. Sesudah ada keputusan masuk surga, maka ketentuan masuk surga tingkatan yang mananya itu ditentukan berdasarkan amal.
Selanjutnya, Ibn Bathal menjelaskan, bisa juga maksud dari ayat-ayat dan hadits di atas adalah saling menguatkan. Artinya, masuk surga itu tergantung rahmat Allah swt juga amal-amal kita. Demikian juga, penentuan tingkatan yang mananya di dalam surga itu tergantung rahmat Allah swt dan amal-amal kita.
Imam al-Karmani, Jamaluddin ibn as-Syaikh, dan Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa huruf ‘ba’ pada ayat-ayat di atas bukan bermakna sebab (sababiyyah), melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi bukan berarti masuk surga itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu bersamaan adanya amal, karena sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah swt. Ini berarti bisa membantah pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya rahmat Allah swt saja. Juga membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu murni karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah swt.
Imam Ibn Hajar memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Amal seseorang walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya masuk surga jika pada kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah swt. Nah, persoalan amal itu diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah swt, dan ini mutlak berdasarkan rahmat Allah swt (semua pendapat ulama di atas dikutip dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).
Sementara itu, jawaban yang cukup panjang dapat ditemukan juga dalam salah satu risalah (tulisan ringkas) Imam Ibn Taimiyyah yang dikodifikasikan dan diedit ulang oleh Syaikh Muhammad Rasyad Salim dalam Jami’ur-Rasa`il, dalam risalah no. 9 berjudul risalah fi dukhulil-jannah hal yadkhulu ahadun al-jannah bi amalihi am yanqudluhu qauluhu saw la yadkhulu ahadun al-jannah bi ‘amalihi; risalah tentang masuk surga, apakah seseorang masuk surga itu disebabkan amalnya, ataukah terbantahkan dengan sabda Nabi saw seseorang tidak masuk surga dengan sebab amalnyaHal pertama yang ditekankan oleh Ibn Taimiyyah adalah tidak mungkin hadits Nabi saw yang shahih bertentangan dengan al-Qur`an. Selanjutnya, Ibn Taimiyyah juga menyatakan, huruf ‘ba’ yang ada dalam hadits dan ayat di atas, kedua-duanya memang menyatakan sebab. Hanya tentunya, menurut beliau, ketika sesuatu dinyatakan sebagai sebab, bukan berarti bahwa sebab tersebut adalah satu-satunya sebab dengan meniadakan yang lainnya. Contoh sederhananya adalah air hujan yang dinyatakan sebagai sebab tumbuhnya tumbuh-tumbuhan di bumi (QS. Al-Baqarah [2] : 164 dan QS. Al-A’raf [7] : 57). Tentu yang dimaksud bukan hanya air hujan saja yang dapat menyebabkan tumbuh-tumbuhan itu tumbuh, melainkan juga ada sebab lainnya seperti angin, tanah, sinar matahari, yang kesemuanya itu sangat tergantung pada rahmat dan anugerah dari Allah swt.
Hadits yang disampaikan Nabi saw di atas, menurut Ibn Taimiyyah, mengajarkan kepada kita untuk tidak memahami hubungan amal dan surga sebagai mu’awadlah; timbal balik, balas jasa, atau ganti rugi. Hal itu disebabkan pertama, Allah swt sama sekali tidak butuh terhadap amal kita, tidak seperti halnya seorang majikan yang butuh kepada para pekerjanya. Amal manusia untuk manusia sendiri, karena kalaupun semua manusia tidak beramal Allah swt tidak ‘peduli’, Dia akan tetap sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa (Lihat QS. Al-Baqarah [2] : 286, Fushshilat [41] : 46, an-Naml [27] : 40).
Kedua, amal seorang manusia tidak diwujudkan oleh dirinya sendiri, melainkan berkat anugerah dan rahmat Allah swt juga, mulai dari menghidupkannya, memberi rizki, memberi tenaga, kesehatan, mengutus rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab, menjadikannya cinta kepada keimanan dan menjadikannya benci terhadap kekufuran. Semua itu adalah berkat rahmat Allah swt.
Ketiga, amal seorang manusia setinggi-tingginya tidak akan senilai dengan pahala yang diberikan Allah kepadanya, karena dalam pahala itu Allah swt sudah melipatgandakannya dari mulai 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang tidak dapat terhitung nilainya.
Keempat, nikmat dan kesenangan yang telah diberikan Allah swt kepada manusia selama di dunia, walau bagaimanapun tidak akan mampu dibayar oleh manusia. Seandainya manusia diharuskan membayarnya dengan amal, pasti mereka tidak akan mampu beramal untuk membayarnya. Padahal jelas, manusia bisa beramal itu berkat nikmat-nikmat Allah swt tersebut.
Kelima, manusia selalu diliputi oleh dosa dan kesalahan. Seandainya saja tidak ada ampunan Allah swt dan kebijaksanaan-Nya untuk hanya mempertimbangkan amal-amal yang baik saja, dengan mengenyampingkan amal jeleknya, tentu manusia tidak akan mungkin masuk ke dalam surga (Lihat QS. Az-Zumar [39] : 33-35, al-Ahqaf [46] : 16). Inilah di antara maksud sabda Nabi saw: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”
Dari uraian panjang ini bisa ditarik kesimpulan bahwa amal tetap sebagai penyebab adanya balasan surga. Hanya berdasarkan hadits ini seseorang tidak boleh ta’ajjub (berbangga diri) dengan amalnya sendiri, karena di sana pasti ada peran rahmat Allah swt. Dengan hadits ini juga seseorang tidak perlu takalluf (mempersulit diri) dengan amal-amal yang dikerjakannya. Tetap optimis dengan amal-amal yang sudah, sedang dan harus dikerjakan, sebagaimana tuntunan Nabi saw: saddidu, wa qaribu, wa absyiru, wa-ghdu, wa ruhu, wa syai`un minad-duljah, wal-qashda wal-qashda, semuanya itu pasti akan menyebabkan kita tablughu;sampai pada cita-cita yang diidamkan (surga).(Muhammadiyah Society Yahoo.groups)

Selasa, 11 Januari 2011

Menag Minta Liberalisme Pemikiran di Perguruan Tinggi Islam Diwaspadai


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Agama Suryadharma Ali mengingatkan masalah liberalisme pemikiran keagamaan yang disinyalir belakangan ini tumbuh dan berkembang di lingkungan perguruan tinggi agama Islam yang menimbulkan kerisauan umat, harus menjadi perhatian serius para rektor UIN/IAIN.
"Dengan tidak mengurangi makna kebebasan akademik, liberalisme pemikiran keagamaan tidak boleh dibiarkan merusak tatanan keagamaan dan keilmuan Islam di Tanah Air, termasuk merusak citra perguruan tinggi agama Islam," ujarnya.

Ia menyatakan, perguruan tinggi tak boleh berdiri sebagai menara gading. "Perguruan Tinggi Agama Islam memiliki ciri yang membedakan dengan perguruan tinggi umum, yaitu misi untuk mencetak sarjana yang ulama dan ulama yang sarjana.  Universitas Islam Negeri (UIN) Institut Agama Islam Negeri (UAIN) dari segi status kini sejajar dengan perguruan tinggi lain," katanya.
Berbicara pada kesempatan pelantikan Rektor UIN, IAIN dan para kepala Kanwil Kementerian Agama di Jakarta, ia mengingatkan kedudukan UIN/IAIN sudah sejajar namun punya misi berbeda, yaitu mencetak sarjana yang ulama sekaligus ulama yang sarjana.
Sejak diberlakukan UU Sistem Pendidikan Nasional, perguruan tinggi Islam mendapat pengakuan sama. Tetapi perguruan tinggi Islam harus berupaya memelihara dan menghidupkan etos tradisi intelektualisme Islam di Indonesia yang dirintis para pendahulunya.(http://www.republika.co.id)

Senin, 10 Januari 2011

SELAMAT UJIAN SEMESTER

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pimpinan Program Studi Perbandingan Agama (Ushuluddin)mengucapkan selamat menjalani Ujian Akhir Semester Gasal 2010/2011 kepada semua mahasiswa Fakultas Agama Islam (FAI) UMS, khsususnya yang tergabung dalam mahasiswa Program Studi Perbandingan Agama.
Semoga kalian dapat mengikuti ujian ini dengan penuh semangat dan dan menjaga kejujuran serta sportivitas, sehingga hasil ujian yang dicapai benar-benar merupakan hasil usahanya yang riil.
Kejujuran dan sportivitas adalah modal kesuksesan hidup, baik hidup di dunia dan akhirat. Karena kejujuran dan sporrtivitas ketika
 masih menjadi mahasiswa kelak akan mewarnai kiprah hidupnya ketika menjadi manusia dewasa. Manusia yang menghargai dan dihargai orang lain.
Kalau kecurangan mewarnai kehidupan mahasiswa, misalnya curang dalam ujian, seperti nyontek, tukar menukar lembar jawab bisa dipastikan kelak hidupnya pun akan diliputi kecurangan, apakah mencurangi atau dicurangi oleh orang lain. Kalau jadi pejabat akan menjadi pejabat yang korup. Kalau jadi pedagang juga pedagang yang suka mengurangi atau menambahi timbangan demi keuntungan pribadinya. Demikian juga bila jadi pengusaha dan seterusnya.

Untuk itu mulai semester ini mulai diterapkan sistem DIS-POINT. Yakni apabila mahasiswa dalam mengikuti ujian melakukan poin-poin pelanggaran tertentu sehingga mencapai jumlah poin tertentu dinyatakan DIS (gugur)dalam mengikuti ujian pada mata uji tersebut.Untuk lengkapnya aturan ini dapat diperiksa di setiap ruang ujian.
Kami berharap mahasiswa Ushuluddin (Perbandingan Agama) benar-benar menjunjung tinggi kedisplinan, kejujuran dan sportivitas tersebut. Kalian harus bisa menjadi teladan bagi mahasiswa yang lainnya. Mengapa? karena ushuluddin adalah pokok dan inti agama. Artinya mahasiswa, dosen dan karyawan pada Prodi Ushuluddin (PA) harus melandaskan seluruh pikiran, ucapan dan tindakannya kepada AL-DIN yakni al-Din al-Islamy. Pemikiran, ucapan dan tindakan kita harus disucikan dari penyakit-penyakit seperti SEPILIS (sekularisme, liberalisme dan pluralisme) yang kini banyak menjangikiti umat sehingga mereka menjadi lepas dari agama. Hidup tanpa agama. Berpikir, berucap dan bertindak tanpa landasan Din. Inilah kritik tajam yang pernah dilontarkan oleh seorang Guru Besar Tafsir Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Dr. M. Roem Rowi, dengan istilah UCULUDDIN untuk mengkritik kecendrungan sebagian mahasiswa (mungkin juga dosen) yang dalam pemikiran, ucapan dan tindakannya tidak mencerminkan seorang Muslim. Hadanallahu wa iyyakum, wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. (Syamsul Hidayat, Ka Prodi Perbandingan Agama (Ushuluddin) UMS).