DIRGAHAYU PROKLAMASI REPUBLIK INDONESIA KE 69 (1945-2014): HARI ESOK LEBIH BAIK DARI HARI INI DAN KEMARIN ALLAHU AKBAR!!! Program Studi Perbandingan Agama (Ushuluddin) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA: Makalah

Translate/Terjemah/ترجمة

Sabtu, 15 Januari 2011

Makalah


IMPLEMENTASI SYARIAT ISLAM SEBAGAI SOLUSI
PROBLEM KEBANGSAAN
(Pokok-pokok Pikiran Perspektif Muhammadiyah)

Oleh: Syamsul Hidayat
Fakultas Agama Islam Universitas M uhammadiyah Surakarta


Pendahuluan
Dengan mengangkat judul seperti di atas, tulisan ini tidak ingin ikut-ikut gerakan-gerakan yang seolah-olah menyuarakan penegakan syariat atau khilafah, tetapi lebih banyak retorika dan tidak disertai konsep serta langkah-langkah operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh umat Islam, juga masyarakat pada umumnya. Jadi alih-alih akan mendapatkan dukungan dari masyarakat luas, dari sesama muslim sendiri masih menjadi  pro-kontra.
Dalam kenyataan di masyarakat, masih banyak umat Islam yang belum memahami secara tepat apa itu syariat Islam, sehingga justru banyak di kalangan umat Islam yang takut dan menolak syariat Islam diterapkan di negeri tercinta ini. Bahkan ketakutan itu bukan dari kalangan awam dari umat ini, tetapi juga dari para elit, cendekiawan, tokoh politik dan para pejabat negara yang mengaku sebagai Muslimin. Apalagi kalangan di luar umat Islam.
Selama ini upaya dan promosi implementasi nilai-nilai Islam banyak dikuasai oleh jargon “penegakan khilafah”, “penerapan syariat Islam” atau “penegakan syariat Islam” identikan dengan penegakan kekuasaan pemerintahan Islam, penegakan hukum Islam, dan yang lebih khusus lagi hukum-hukum ibadah, hukum muamalah, dan hukum-hukum pidana. Oleh karena itu pemahaman yang muncul adalah akan adanya polisi syariat, yang akan mengawasi, menangkap dan menghukum umat Islam yang tidak shalat, tidak puasa, membuka aurat, potong tangan bagi pencuri dan k, rajam bagi pezina, jilid bagi pemabuk dan perokok dan sebagainya. Ini adalah sederet pemahaman yang muncul dari jargon dari penerapan atau penegakan syariat dan penegakan khilafah. Dominasi jargon tersebut sangat mendistorsi pemahaman umat dan masyarakat terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang mulia dan memuliakan manusia, sehingga justru mereka menolak, bahkan takut terhadap agamanya sendiri.
Ya, memang umat ini telah lama disusupi dan dijangkiti penyakit yang datangnya bisa dari luar maupun dari dalam diri umat Islam, yaitu penyakit Islamofobia. Takut terhadap ajaran Islam dan umatnya. Islamofobia adalah wawasan dan pandangan dunia yang disebabkan oleh ketakutan dan kebencian yang tidak berdasar terhadap Islam dan umat Islam. Islamofobia seringkali dimanifestasikan dalam bentuk miskonsepsi, penilaian dan penggambaran negatif terhadap Islam dan umatnya yang dipersepsikan sebagai agama yang tidak rasional, primitf,anti kemajuan, antitoleransi. Bahkan digambarkan bahwa Islam adalah agama kekerasan, apresiatif terhadap terorisme dan radikalisme. [1]
Tren  Islamofobia ini, menurut Muhammadiyah, merupakan ancaman global yang mereduksi hakekat peradaban dan keadaban umat manusia, bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan berbahaya bagi terwujudnya perdamaian dunia.[2]
Untuk itu tulisan ini akan mencoba mengurai tema besar di atas dari pengertian-pengertian elementer yang harus dipahami dulu, khususnya oleh mereka yang belum paham dan cenderung takut dan menolak penerapan syariat Islam, formulasi penerapan syariat terdiri dari prinsip, metode, prosedur dan prioritas program yang mestinya dilaksanakan oleh aktivis Islam dan lembaga keislaman, seperti organisasi kemasyarakatan dan partai politik Islam, sehingga nilai-nilai Islam yang kaffah memperoleh keberterimaan yang tinggi.
Dengan demikian, nilai-nilai Islam menjadi implementatif dalam kehidupan umat, sehingga fungsi Islam sebagai solusi problem kemanusiaan dapat memberikan kontribusi riil dalam menjawab masalah kebangsaan negeri tercinta ini.

Definisi Syariat Islam
Syariat Islam harus dipahami secara luas dan dalam. Syariat Islam jangan dipahami sebagaimana nama dari Fakultas Syari’ah pada perguruan tinggi Islam, yang seolah-olah hanya terfokus kepada kajian masalah hukum, seperti hukum ibadah, mumalah (perdata), jinayat (pidana) dan siyasah syar’iyyah (politik Islam). Tetapi harus dikembalikan kepada arti asli dari kata syari’ah itu sendiri, yaitu “jalan yang luas dan lurus menuju suatu tujuan yang pasti”.
Jadi sebenarnya apabila disebut dengan istilah syari’ah Islam maknanya yang pasti adalah dinul Islam itu sendiri, yang mencakup seluruh aspek-aspek dari ajaran Islam, baik masalah-masalah aqidah, hukum-hukum (yang biasa disebut bidang syari’ah), maupun bidang akhlak. Sehingga penerapan atau penegakan syariah Islam tidak lain adalah penegakan aqidah Islam yang murni, hukum-hukum ubudiyah, muamalah dan jinayat yang sahihah, serta akhlak mulia.
Makna seperti ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Syura [42]: 13, yang berbunyi:
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama  dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

Ayat di atas dapat dipahami bahwa kata “syariat” adalah Dinul Islam itu sendiri. Yakni agama para Nabi dan Rasul sejak Adam As hingga Muhammad Saw.[3] Memang, kemudian secara teknis, terminologi syariah bisa dipahami dua makna, yakni makna umum (luas) dan makna khusus (sempit). Makna luas terdapat pada terminologi “syari’ah Islam”, yang bermakna seliuruh bangunan Dinul Islam, sedangkan makna khusus (sempit) apabila dikatakan dengan istilah “bidang atau aspek syari’ah”, maka artinya syari’ah hanya berbicara masalah-masalah hukum ibadah, muamalah dan jinayat atau ada yang memasukkan juga masalah jihad, khilafah atau siyasah (politik).[4]
Istilah yang digunakan Dr. Haedar Nashir dalam disertasinya “Gerakan Islam Syariat”, jelas-jelas memaknai syariat dalam arti sempit, yang dimaksudkan kepada kelompok umat Islam yang getol memperjuangkan hukum-hukum ibadah, muamalah, jinayat dan politik Islam dalam sistem negara. Istilah yang dipakai pak Haedar dalam konteks sosiologis, sehingga dalam terminologi ilmu-ilmu keislaman tidak dikenal “Islam Syari’at”.[5]

Formulasi Penerapan Syari’ah Islam
 Sebagaimana makna syari’ah Islam yang kaffah, maka proses penerapan dan penegakannya pun harus kaffah dalam arti digerakkan secara simultan dan sistemik, meskipun harus bertahap dan bijaksana, secara bertahap namun pasti keunggulan syariat Islam dapat dipahami dan diterima, bahkan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, baik kalangan muslim maupun non muslim, karena ajaran Islam memang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam Al-Quran Allah telah memberikan panduan sistem penegakan syariat Islam secara simultan, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102)  وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103) وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104) (آل عمران : 102-104)
(102.) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (103). dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (104). dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[6]; merekalah orang-orang yang beruntung.(Ali Imran: 102-104)
Pada ayat-ayat di atas, dijelaskan tentang beberapa perkara penting yang harus diperhatikan apabila umat Islam akan menerapkan syariat Islam dalam rangka membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Perkara-perkara penting tersebut adalah:
1.      Landasan Iman, Islam dan Taqwa (Ihsan).
Ini adalah landasan prinsipiil menyangkut persoalan yang sangat ideologis dan subtantif. Landasan ini terutama harus tertanam kuat pada para mujahid dakwah, ulama dan pemimpin umat Islam yang akan mempelopori pembinaan umat dalam rangkan tegaknya syariat Islam.
Begitu penting landasan substantif ini sehingga untuk mengajarkan nilai-nilai Iman, Islam dan Ihsan (taqwa) tersebut Rasulullah SAW dibantu oleh malaikat Jibril AS, dalam bentuk dialog tanya jawab yang sangat menakjubkan bagi para sahabat. Malaikat Jibril yang menampakkan diri sebagai manusia yang berpakaian putih bersih itu selalu membenarkan jawaban Nabi ketika ia bertanya, inilah yang dipandang aneh oleh para sahabat. Ketika dialog selesai orang ini menghilang begitu saja. Nabi pun menjelaskan bahwa dia adalah malaikat Jibril yang datang untuk mengajarkan agama kepada para sahabat.
Landasan di atas juga ditegaskan dalam firman Allah yang menegaskan misi suci Nabi Muhammas Saw sebagai berikut
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِين.
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Yusuf: 108)
Ayat ini adalah kritik kepada kebanyakan manusia yang tidak mau memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di langit dan di bumi, yang menunjukkan Allah adalah Esa dan hanya kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka, Allah memerintahkan kepada Rasulullah agar beliau menyampaikan bahwa jalan dan manhaj yang ditempuhnya adalah dakwah kepada agama Allah, bertauhid, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Dakwah itu juga digerakkan oleh para pengikut Rasulullah berdasarkan hujah yang jelas dan nyata.
Sabili dalam ayat di atas adalah sabīlullāh, yakni Thariqul Haq. Majelis Tarjih mendefinisikan sabilullah adalah jalan yang mengantarkan kepada apa-apa yang diridai oleh Allah, yaitu menjalankan perintah, menjauhi larangan dan segala perbuatan yang diijinkan oleh Allah dan Rasulullah.[7]
Basirah sebagaimana al-Maraghi bermakna al-hujjah wa burhan (argumen dan bukti-bukti). Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama Allah yang hanif tidak sekedar menuntut agar manusia menerima begitu saja ajaran-ajaran dan doktrin-doktrinnya, tetapi ia adalah agama yang disertai hujah dan burhan.[8] Sementara itu, Muhammad bin Shalih a-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud bashirah ada tiga hal, yaitu (a) ilmu al-Qur´an wa al-Sunnah, (2) al-ilm bi al-ahkam al-shar’iyyah, yakni pengetahuan para da’i tentang ilmu hukum syariat, dan (c) al-‘ilm bi kaifiyah al-da’wah wa ahwal al-mad’uwwin, ilmu tentang metode dakwah dan kondisi mad’u.[9] Di sini ada paralelisasi dengan konsep al-khair yang terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]: 104, yaitu bahwa gerakan dakwah Islam harus menjadi gerakan dan amal jama’i, yang berlandaskan kepada basirah dan al-khair untuk menuju khaira ummah.
Betapa pentingnya Iman, Islam dan Ihsan, sehingga masyarakat Islam yang di didalamnya tegak syariat Islam tidak mungkin terwujud tanpa landasan tersebut.
2.      Landasan Quran dan Sunnah (Hablullah)
Hablullah yakni jalan Allah yakni tidak lain adalah Kitab Allah yang wajib dipegang teguh umat secara keseluruhannya dan diharamkan berpisah atau menyelisihinya. Menurut, Rasyid Ridha, orang yang berselisih atau berpisah dari agamanya akan menimbulkan perpeceahan umat, karena masing-masing akan membaggakan diri dan fanatik terhadap golongannya (ashabiyyah).[10]
Berpegang teguh kepada tali Allah (Hablullah), juga bermakna berpegang kepada dua warisan Nabi yang ditinggalkan untuk umatnya agar tidak tersesat dalam hidupnya. Warisan tersebut adalah al-Quran dan al-Sunnah.[11]
Ini merupakan landasan metodologis sekaligus etis, disertai keyakinan yang penuh bahwa hablullah ini telah menyatukan manusia-manusia yang bermusuhan menjadi bersaudara, serta menghilangkan sikap ashabiyah (fanatisme), Dengan hablullah ini pula, Allah telah mengembalikan manusia-manusia yang telah jauh dari nilai-nilai kebenaran menuju jalan kebenaran dan keselamatan dunia akhirat.[12]
Artinya secara metodologis gerakan untuk menerapan syariat Islam harus mengacu dan berorientasi kepada al-Quran dan al-Sunnah, dengan penuh keyakinan bahwa al-Quran dan Sunnah telah berfungsi efektif mengatasi krisis multidimensi pada jaman Nabi dan masa-masa sesudahnya. Fungsi tersebut pasti akan dapat dibuktikan kembali bila i’tisham (berpegang teguh) pada  hablullah (Quran-Sunnah) juga tegak di tengah-tengah masyarakat. Ini aalah ayat-ayat Allah dan bukti-bukti dari kekuasannya, yang telah ditegaskan oleh Allah.
3.      Gerakan Dakwah Amar Makruf dan Munkar Organisasi yang Tertib
Setelah kuat landasan substantif-ideologis dan landasan metodologis-etis, gerakan penerapan dan penegakan syariat Islam perlu diimplementasikan dengan gerakan sistematis dan organisasi yang tertib untuk melakukan pembinaan umat dengan menggunakan prinsip-prinsip dakwah. Yang pertama-tama dilakukan adalah dakwah ila al-khair. Mengajak dan menyeru kepada umat untuk mengenal Islam sebagai jalan al-khair. Di sinilah para da’I (mubaligh) membawa berita gembira akan luhurnya nilai-nilai ajaran Syariat Islam.
Al-Khair dalam ayat ini menurut Ibn Katsir dengan mengutip Sabda Rasul SAW adalah ittiba’ al-Quran wa al-Sunnah, mengikuti Al-Quran dan Al-Sunnah. Sementara Imam Al-Raghib al-Asfahani mendefinisikan al-Khair sebagai berikut:
الخير ما يرغب فيه الكل كالعقل مثلا والعدل والفضل والشىء النافع وضده الشر.
“Al-khair adalah segala yang disukai oleh semua seperti pemahaman, keadilan dan keutamaan, serta sesuatu yang bermanfaat dan lawannya adalah al-syarr. [13]

Kemudian ia membagi membagi al-khair dalam dua bentuk: al-khair al-muthlaq dan al-khair al-muqayyad. Al-khair al-muthlaq diartikan segala yang dipandang baik dan tidak dapat ditolak kebaikannya oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun. Sementara al-khair al-muqayyad adalah sesuatu yang dipandang baik oleh sebagian orang tetapi dipandang sebagai kejelekan oleh yang lain.[14]
Tauhid dan tttibÉÑ al-Qur´Én wa al-Sunnah, menurut tafsir Ibnu Abbas,[15] merupakan al-khair al-mutlaq. Dan dalam konteks ayat 104 di atas, al-khair sebagai materi utama dakwah sekaligus landasan dakwah, yakni tauhid dan ittibÉÑ al-Qur´Én wa al-Sunnah.
Esensi dakwah Islam adalah tegaknya nilai-nilai al-khair yang bersifat tetap dan universal, dan al-ma’ruf yang bersifat dinamis terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat, dan tereliminasikannya nilai-nilai al-munkarÉt, yang cakupannya juga berkembang sejalan dengan perkembangan nilai yang ada di masyarakat.
Setelah umat ini mengenal dan memiliki keyakinan yang kuat tentang Islam, pada tahap berikutnya adalah amar makruf dan nahi munkar.
Pada tahap inilah aspek-aspek ajaran Islam digerakkan untuk diterapkan di masyarakat yang memang telah siap menerima dan memiliki keyakinan yang kokoh kepada Islam. Penerapan syariat Islam ini akan berhubungan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan, artinya dimensi hukum dan politik sangat kuat. Namun juga harus dipahami bahwa hukum dan politik ini adalah merupakan kontrol penegakan aqidah shahihah, ibadah yang bersih dari bid’ah, muamalah yang lurus dan sistem politik yang adil dan demokratis, serta peduli terhadap ajaran Islam
Jadi, esensi dakwah Islam adalah tegaknya nilai-nilai al-khair yang bersifat tetap dan universal, dan al-ma’ruf yang bersifat dinamis terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat, dan tereliminasikannya nilai-nilai al-munkarÉt, yang cakupannya juga berkembang sejalan dengan perkembangan nilai yang ada di masyarakat.
Sekumpulan (ummah) kaum mukminin yang dapat mengerakkan dan menyosialisasikan tegaknya al-khair dan menyuruh kepada al-ma’rufat dan mencegah al-munkarat itulah yang akan memperoleh kemenangan, dan kebahagiaan dunia-akhirat (Muflihun). Kondisi umat di atas digambarkan dalam firman Allah:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maÑruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Kandungan ayat ini terkait erat dengan ayat-ayat sebelumnya, mengenai peringatan tentang perselisihan Ahli Kitab atas petunjuk-petunjuk agama Allah, dan perintah kepada orang-orang beriman untuk bertakwa, berpegang teguh pada tali Allah, menjalin ukhuwah dan kesatuan umat, serta membangun jamaah (umat) yang menegakkan dakwah kepada al-khair, mengajak al-ma’ruf dan mencegah al-munkar. Seakan memberi pemahaman bahwa tuntutan dan perintah tersebut terlahir karena umat Islam adalah umat terbaik yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Atau dapat juga memberi pemahaman bahwa umat Islam dalam memenuhi tuntutan dan perintah tersebut merupakan prasyarat untuk menjadi umat terbaik.
Kata kuntum (كنتم) dalam ayat di atas dipahami dalam dua pemahaman. Yang pertama memahami kana sebagai kata kerja yang sempurna(كان تامة) , sehingga dipahami bahwa umat Islam itu wujudnya merupakan sebaik-baik umat yang menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Yakni, bahwa di mana dan kapan saja umat Islam yang ideal adalah sebaik-baik umat manusia. Adapun yang kedua berpandangan bahwa kÉna bukanlah kata kerja yang sempurna (كان ناقصة), yang implikasi pemahamannya adalah bahwa wujudnya khaira ummah telah ada di masa lalu, tanpa penjelasan waktu kapan terjadinya dan tidak juga mengandung isyarat bahwa ia pernah tidak ada atau suatu ketika akan ada. Jika demikian, simpul Quraish, ayat ini bermakna kamu dahulu dalam ilmu Allah adalah sebaik-baik umat.[16] Dalam pemahaman ini, khaira ummah sering dihubungkan dengan sabda Nabi saw:
عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ (رواه البخارى وغيره)[17]

Dari Abidah dari Abdullah r.a. dari Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah pada kurun (zaman)-ku, kemudian generasi yang mengikuti mereka, kemudian generasi yang mengikuti mereka” (H.R. Bukhari dan yang lainnya).

Dengan demikian, khaira ummah adalah kondisi ideal umat Islam, yang akan ditegakkan dengan dakwah, yakni umat yang menegakkan al-amr bi al-maÑruf wa al-nahy Ñan al-munkar, dan beriman kepada Allah
Berkaitan dengan terminologi al-ummah, Al-Imam Al-Raghib al-Asfahani menyebutkan bahwa kata al-ummah berakar pada kata al-umm yang berarti induk (aÎl al-mas´alah), ibu (orang tua perempuan, al-wÉlidah). Ia mendefinisikan al-umm sebagai (كل شيئ ضم اليه سائر ما يليه يسمى أما). Sementara, kata al-ummah didefinisikan sebagai berikut:
“Ummah adalah semua jamaah yang diikat oleh satu urusan, seperti satu agama, satu zaman (waktu), satu tempat, baik perkumpulan itu bersifat terpaksa atau sukarela.”[18] 

Definisi  di atas, agaknya sejalan dengan pemahaman Muhammadiyah yang memahami bahwa al-ummah sebagai organisasi yang tertib kepemimpinan, keanggotaan, dan hubungan antara keduanya


Tali Simpul: Gerakan Muhammadiyah sebagai Model
Gerakan Muhammadiyah menggunakan sistem organisasi modern, yang dicanangkan sejak berdirinya pada tahun 1912. Penilaian bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan modern dapat dilihat dari visi dan misi gerakannya, juga didasarkan pada penggunaan organisasi sebagai wahana perjuangan. Proses pengorganisasian ini berkembang sejalan dengan pertambahan jumlah anggota, perluasan daerah, dan pemekaran jenis kegiatan yang dilaksanakan, yang semuanya itu dijalankan dengan perencanaan dan evaluasi yang simultan.[19] Dewasa ini perkembangan organisasi Muhammadiyah telah mencapai tingkat kompleksitas yang tinggi dalam ukuran kehidupan organisasi kemasyarakatan di Indonesia.
Kalau kita cermati prinsip-prinsip di atas sebenarnya gerakan kita Muhammadiyah ini sudah berada pada langkah yang tepat. Orang bilang, Muhammadiyah telah on the right track. Tentu hal itu dengan beberapa catatan, antara lain:
1.         Muhammadiyah harus konsisten mendakwahkan Islam yang bersumber Quran dan Sunnah dengan meneladani dakwah Rasulullah dan generasi salafus salih (al-Taubah: 100).
2.         Muhammadiyah harus memperluas jaringan dakwahnya, sehingga pemahaman Islam yang benar dengan keyakinan bahwa ajaran Islam adalah satu-satunya solusi atas berbagai krisis kemanusiaan, semakin meluas dan menjadi masssif.
3.         Dengan massifikasi dakwah Islam dan meluasnya lapisan masyarakat yang memahami dan meyakini Islam sebagai satu-satunya
Di samping itu, Muhammadiyah memerlukan partner perjuangan. Kalau Muhammadiyah bergerak membina masyarakat, perlu ada organisasi yang menggarap birokrasi dan perundang-undangan negara yang peduli kepada ajaran Islam. Dalam khittah perjuangan Muhammadiyah, telah ditegaskan bahwa Muhammadiyah telah memilih jalur dakwah kemasyarakatan, dan tidak memilih jalur politik praktis.
Di sinilah, Muhammadiyah menyadari perlunya pembagian tugas dalam penerapan syariat Islam. Gerakan-gerakan dakwah, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, Matla’ul Anwar, Nahdlatul Ulama dan sebagainya memiliki tugas mengenalkan dan menanamkan komitmen Islam kepada masyarakat dengan gerakan dakwah kemasyarakatan dan kegiatan sosial lainnya. Di samping itu, diperlukan adalah gerakan politik praktis yang benar-benar berkiprah dalam bidang politik praktis dengan benar-benar memiliki komitmen kebangsaan dan keumatan yang tinggi. Sehingga para aktifis politiknya berkiprah semata-mata untuk kemajuan dan kokohnya bangsa dan negara, serta tegaknya nilai-nilai syariat Islam dalam sistem politik dan hukum di Indonesia, khususnya bagi umat Islam sebagaimana amanat para pendiri bangsa yang tertuang dalam mukaddimah UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta.
Sekiranya kohesifitas dan sinergitas antara gerakan dakwah Islam dengan seluruh kekuatan bangsa, seperti para birokrat, teknokrat, politisi dan partai politik (baik partai politik Islam maupun nasionalis) yang peduli terhadap tegaknya syariat Islam dalam arti sebenarnya, insyaallah akan mempercepat penyelesaian berbagai krisis yang menimpa negeri tercinta ini. Nasrun Minallah wa fathun qariib.. 


DAFTAR PUSTAKA
al-Asfahani, Al-Raghib. Mufradāt Alfaz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syamiyah dan Dimasyq: Dar al-Qalam, 1997..
al-Barr, Ibn Abd. Al-Tamhid Lima fi al-Muwatha’ min al-Ma’ani wa al-Masanid. Maroko: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, 1966
Berita Resmi Muhammadiyah: Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad. BRM No. 01 Septermber 2010,
Haedar Nashir, Gerakan Islam syariat : reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, Jakarta : PSAP, 2007
al-Jurjâni, Ali Muhammad, at-Ta’rîfat, Beirut: Dâr al-KItab al-Araby, 1985
al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi Jilid V,.
PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah,
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Quran al-Karim (Tafsir al-Manar). Mesir: Hai’ah Misriyah lil Kitab, 1990
Sahih al-Bukhari, dan Sahih Muslim, dalam program Maktabah Shamilah Versi 2.09.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Sholeh, A. Rosyad, Manajemen Dakwah Muhamadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005.   
Tanwir al-Miqbas Juz 1, dalam program Maktabah Shamilah Versi 2.09,
al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, SyarÍ Thalathah al-Usul, tk.: t.p., t.th..
al-Zuhaili, Wahbah bin Mustafa. Tafsil al-Munirfi al-Aqidah wa al- Syar’ah wa al- Manhaj.. Dimasq: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1998
Zaydân, ‘Abd al-Karîm, al-Madkhal li Dirâsah as-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Beirut: Muassasah ar-Risâlah, cet. XIV, 1996), hlm. 34.


[1]Berita Resmi Muhammadiyah: Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad. BRM No. 01 Septermber 2010, hlm. 251
[2]Ibid. hlim. 252-3
[3]Wahbah bin Mustafa al-Zuhaili. Tafsil al-Munirfi al-Aqidah wa al- Syar’ah wa al-Manhaj.. (Dimasq: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1998), Juz 25 hlm. 23
[4]Ali Muhammad al-Jurjâni, at-Ta’rîfat, (Beirut: Dâr al-KItab al-Araby, 1985), hlm. 167;  ‘Abd al-Karîm Zaydân, al-Madkhal li Dirâsah as-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Beirut: Muassasah ar-Risâlah, cet. XIV, 1996), hlm. 34.
[5]Haedar Nashir, Gerakan Islam syariat : reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, (Jakarta : PSAP, 2007), hlm. 10-30

[6] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[7]PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, hlm. 277.
[8]Ahmad Mustafa al-Maraghi, TafsÊr al-MarÉghÊ Jilid V, Juz 5, hlm. 52.
[9]Muhammad bin Shalih a-Utsaimin, SyarÍ ThalÉthah al-UÎËl (t.tp.: t.p., t.th.), hlm. 22 .
[10]Muhammad Rasyid Risha. Tafsir al-Quran al-Karim (Tafsir al-Manar). (Mesir: Hai’ah Misriyah lil Kitab, 1990), Juz. IV, hlm. 18
[11]Ibn Abd al-Barr. Al-Tamhid Lima fi al-Muwatha’ min al-Ma’ani wa al-Masanid. (Maroko: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, 1966), Juz 24, hlm. 331
[12]Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz, IV, hlm 19
[13]Ibid., hlm. 300
[14]Ibid.
[15] TanwÊr al-MiqbÉs Juz 1, hlm. 67 dalam program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09,
[16]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Volume 2, hlm. 184-186.
[17]Sahih al-Bukhari, Juz 9, hlm. 133, Juz  11, hlm 482, lihat juga Sahih Muslim, 12, hlm, 358 dalam program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09.
[18]Al-Raghib al-Asfahani. Mufradāt AlfāÐ al-Qurān. (Beirut: Dar al-Syamiyah dan Dimasyq: Dar al-Qalam, 1997), hlm. 86.
[19]A. Rosyad Sholeh, Manajemen Dakwah Muhamadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hlm. 70
.   

Tidak ada komentar: