102 TAHUN MUHAMMADIYAH
ISTIQAMAH DALAM DAKWAH
DAN TAJDID
Oleh: Syamsul Hidayat
Dosen UMS Surakarta, Wakil Ketua MTDK PP
Muhammadiyah
Di bulan Zulhijjah 1432 ini, usia Muhammadiyah telah
genap 102 tahun menurut hitungan tahun hijriyyah. Suatu usia yang menunjukkan
kematangan untuk sebuah lembaga atau organisasi. Dari perjalanan hidup
Muhammadiyah sepanjang 102 tahun tersebut tentu telah banyak sekali pengalaman
yang dapat dipetik. Dinamika kehidupan baik yang menyenangkan maupun yang berat
dan berbuah penderitaan. Suatu saat Muhammadiyah harus menghadapi masa-masa
sulit, namun di saat yang lain, Muhammadiyah bersama kekuatan elemen umat Islam
lainnya memperoleh banyak kemudahan. Itulah dinamika perjuangan Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah Islam yang berwawasan tajdd.
Dengan prinsip tajdid, dakwah Muhammadiyah menyapa umat
ini untuk banyak melakukan perubahan dan perbaikan, dengan cara: pertama,
memurnikan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sesuai dengan sumbernya yang
asli, yakni al-Quran dan al-Sunnah al-Maqbulah, dengan meneladani generasi al-Sabiqunal
Awwalun. (QS. Al-Taubah: 100). Dan carakedua, mengembangkan dan memajukan
kehidupan umat manusia dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi,
namun tetap dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. (QS.
Al-MujadilahL 11). Tajdid dengan makna seperti di atas berakibat tidak mudah
seseorang untuk menerima dakwah Muhammadiyah, karena seseorang harus mencerna
dengan sungguh-sungguh terhadap dakwah Muhammadiyah, akan tetapi dengan melalui
pencermatan dan pencernaan yang matang mereka yang masuk dan mendukung
perjuangan Muhammadiyah, menjadi kader dan pejuang yang tangguh dan berkualitas.
Dari sinilah, kemudian Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi dakwah Islam yang memiliki peran besar bagi pengembangan kualitas sumberdaya insani umat Islam dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia, sehingga memperoleh kemerdekaannya dengan usaha dan perjuangan yang gigih, bukan pemberian dari bangsa lain. Apabila ditinjau dari kuantitas, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, karena tidak semua orang dapat menerima dakwah Muhammadiyah, tetapi dari segi kualitas dan peran gerakannya, Muhammadiyah diakui oleh dunia sebagai agen perubahan sangat signifikan bagi umat Islam, bangsa Indonesia dan masyarakat dunia.
Dari sinilah, kemudian Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi dakwah Islam yang memiliki peran besar bagi pengembangan kualitas sumberdaya insani umat Islam dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia, sehingga memperoleh kemerdekaannya dengan usaha dan perjuangan yang gigih, bukan pemberian dari bangsa lain. Apabila ditinjau dari kuantitas, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, karena tidak semua orang dapat menerima dakwah Muhammadiyah, tetapi dari segi kualitas dan peran gerakannya, Muhammadiyah diakui oleh dunia sebagai agen perubahan sangat signifikan bagi umat Islam, bangsa Indonesia dan masyarakat dunia.
Stigma Puritanisme dan Wahabisme
Dakwah Muhammadiyah yang menerapkan metode tajdid, yakni
memurnikan dan memajukan pemahaman dan pengamalan Islam sesuai al-Quran dan
al-Sunnah dan keteladanan hidup Muhammad SAW dan generasi al-Sabiqunal
Awwalun, dengan membersihkan segala takhayul, bid’ah dan khurafat yang
bercampur baur dengan tradisi dan kepercayaan lokal yang bersumber dari agama
sebelumnya memperoleh reaksi keras dari masyarakat termasuk umat Islam sendiri.
Dalam catatan penelitian yang dilakukan oleh James L
Peacock, Deliar Noer dan Ahmad Jainuri serta beberapa peneliti lainnya,
disebutkan bahwa dakwah Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh gerakan pemurnian
dan pembaharuan Islam di Timur Tengah yang diperoleh KH Ahmad Dahlan dalam
lawatannya dua kali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, bahkan sempat
bermukim di Mekkah 1903-1905 dan memperlajari Islam dan gerakan Islam yang
sedang berpengaruh di sana, mulai dari dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Abduh dan Rasyid Ridha. Menurut Djarnawi
Hadikusuma, KH. Ahmad Dahlan atas pertolongan KH. Baqir dapat bertemu dan
berdiskusi langsung dengan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Disebutkan pula bahwa
dakwah Muhammadiyah memperoleh reaksi yang sangat keras dari kalangan
tradisionalis sinkretik-heterodoks yang ingin tetap mempertahankan paham
sinkretis-heterodoksnya. Dari sinilah, dakwah Muhammadiyah memperoleh stigma
negatif sebagai penerus gerakan Puritanisme dan Wahabisme.
Stigma Puritanisme-Wahabisme memang disuarakan oleh
mereka yang ingin mempertahankan kondisi sinkretisme karena ada beberapa pihak
yang diuntungkan oleh hidupnya paham heeterodoks-sinkretis ini, terutama
tokoh-tokoh agama dan adat setempat, yang khawatir akan kehilangan mata
pencahariannya apabila gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam berkembang.
Stigma Wahabisme dihembuskan oleh kaum heterodoks
sedemikian rupa seolah-olah dakwah Muhammad bin Abdul Wahab dan gerakan yang
meneruskannya adalah dakwah intoleran, padahal apa yang dilakukan oleh para
tokoh di atas termasuk gerakan-gerakan penerusnya seperti Muhammadiyah,
Al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis) menanamkan pemahaman dan pengamalan
Islam yang murni bersumber al-Quran dan al-Sunnah al-Maqbulah dengan mengikuti
keteladanan Rasulullah Muhammad dan generasi al-Sabiqunal Awwalun. Metode yang
digunakan lebih banyak dengan media pendidikan, kesejahteraan sosial dan
gerakan pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi karena semakin rasionalnya
masyarakat dan semakin banyaknya umat yang mulai menerima dakwah pemurnian dan
pembaharuan ini dirasakan akan mengancamkan posisi kaum heterodoks-sinkretiks,
maka mereka menghembuskan stigma negatif Puritanisme-Wahabisme sebagai kelompok
fundamentalis-radikal.
Stigma negatif Gerakan Dakwah Muhammadiyah, menurut
Deliar Noer yang diperkuat oleh penelitian Alwi Shihab, juga datang dari kalangan non-Muslim
(Nasrani-Yahudi) yang saat itu mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial
Belanda, karena Muhammadiyah dipandang sebagai benteng kokoh untuk membendung
laju gerakan Kristenisasi dan gerakan Free Masonry Yahudi, yang juga
melancarkan misinya dengan pendidikan, kesejahteraan sosial dan pemberdayaan
masyarakat.
Akhir-akhir ini stigma itu muncul kembali, meskipun tidak
langsung menyebut nama Muhammadiyah, tetapi gerakan dakwah pemurnian dan
pembaharuan Islam dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan dengan gerakan dan aksi
terorisme, yang padahal tidak ada hubungan dan kaitannya sama sekali. Tentu ada
maksud dibalik stigmaisasi tersebut.
Ketika wacana deradikalisasi digulirkan oleh BNPT untuk
meminimalisasi dan mencegah aksi terorisme, kelompok heterodoks-sinkretis ini
pun membonceng dan kembali memunculkan stigma bahwa gerakan pemurnian dan
pembaharuan Islam adalah gerakan puritanisme radikal yang menjadi sumber bagi
munculnya paham radikalisme.
Istiqamah dalam Dakwah dan Tajdid
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid, yang misi
gerakannya adalah memurnikan dan memajukan pemahaman dan pengamalan ajaran
Islam tidak akan terpancing dengan stigma tersebut, dan akan terus beristiqamah
dalam dakwah dan tajdid, dengan terus mendalami pesan-pesan al-Quran dan
al-Sunnah al-Maqbulah dan terus menerus memperbaiki metodologi gerakannya
sejalan dengan perkembangan jaman dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip
Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Ketika wacana deradikalisasi dimunculkan oleh BNPT
sebagai upaya untuk mencegah dan meminimalisasi aksi kekerasan dan terorisme di
Indonesia, Muhammadiyah akan mengambil bagian dengan meluruskan makna
radikalisme dan deradikalisasi apabila dikaitkan dengan isu agama, sehingga
upaya deradikalisasi dapat berjalan lebih tepat dan optimal, serta tidak salah
sasaran. Apabila deradikalisasi tidak dilakukan secara cermat dan tepat justru
akan kontra produktif, baik bagi umat Islam dan bangsa Indonesia sendiri. Terlebih-lebih
apabila isu dan wacana deradikalisasi ini diboncengi oleh kepentingan politik
tertentu baik dari dalam maupun luar bangsa ini, tentu akan berakibat sangat
merugikan umat dan bangsa. Deradikalisasi hendaknya dipahami dan
diaktualisasikan sebagai upaya mencegah paham dan gerakan kekerasan seperti
yang terjadi pada aksi terorisme baik oleh kalangan Islam maupun non-Islam.
Memasuki tahun ke 103, Muhammadiyah perlu meningkatkan
peranannya dalam perjuangan memurnikan pemahaman dan pengamalan Islam serta
memajukan kaum Muslimin sebagai komponen utama sumberdaya insani bangsa
Indonesia, sehingga kemajuan umat Islam
yang diikuti kekuatan iman dan taqwa kepada Allah akan menjadi modal bagi
terwujudnya bangsa dan negara Indonesia yang maju dengan peradaban robbani,
sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini yang tertuang dalam
ideologi negara Pancasila dan cita-cita umat Islam atas negerinya yakni terwujudnya baldatun thayyibatun wa
Rabbun Ghafur. Amien Ya Rabb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar